Rabu, 18 Juni 2014

SISTIK IKAN

Sistik adalah makanan yang berbentuk seperti pensil yang gurih, renyah dan pas untuk ngemil sambil di temani secangkir kopi yang hangat.  Sistik terbuat dari bahan-bahan yang alami tidak ada zat kimia berbahaya yang dapat membahayakan kita.  Jadi tak perlu kawatir memakannya.

Bahan baku :
Limbah Fillet ikan nila, marlin/cakalang, dan kepala baby tuna Berupa tulang, ekor dan kepala.

Bahan-bahan Pembuat Sistik:
-     Terigu
-     Bawang merah
-     Bawang putih
-     Garam
-     daun cai

diatas adalah bahan – bahan pokok pembuat Sistik.  Ada beberapa bahan tambahan sebagai penyedap, bisa di campurkan ke sistik. misalnya: cabai.

Langkah-langkah Membuat Sistik
1.  Jemurlah daun cai sampai layu
2.  Kupaslah bawang merah, bawang putih.  Kemudian, cucilah bahan-bahan tadi sampai bersih. Kemudian, potong-potonglah bawang-bawang tersebut selanjutnya, goreng bahan tersebut dan tiriskan.
3.  Setelah daun cai layu potonglah daun cai sampai kecil kecil.
4.  Sebelum terigu di gunakan sebaiknya di jemur dulu ,ini bertujuan supaya sistik
bertambah gurih.Setelah kering dan tidak menggumpal berarti terigu bisa di gunakan.
    5.  Sebelum bahan bahan tersebut di campur, kita lihat dulu apakah sistik itu akan di buat 
    rasa apa, jika mau rasa pedas kita campurkan cabai yang sudah di hancurkan dengan perbandingan terigu dengan bawang yaitu 1kg : 1 ons dan untuk cabai sesuaikan
selera.
6.  Selanjutnya campurkan daun cai kedalam terigu dengan perbandingan 1kg
terigu, dengan 500 gram daun cai.
7.  Tambahkan garam dengan perbandingan 1kg terigu dengan 3 sendok teh 
8.  Campurkan sedikit air sampai terigu tidak menempel di tangan kemudian, aduk-aduk,   sampai adonan tidak kaku.
9.  Pipihkan adonan tersebut dengan mesin pemipih sampai beberapakali supaya adonan
tidak kaku dan lebih gurih.
10.Kemudian, masukan ke mesin pembuat mie,tapi ukuran yang di hasilkan 4 kali lebih besar dari mie biasa.kemudian potong sekitar 10 cm.
11. Goreng dengan minyak yang lumayan banyak hingga bagian sistik tertutup semuanya alam memasukan sistik ke wajan jangan sampai menempel satu dengan yang lainya dan dan bolak balikan sistik supaya tidak menempel. Tunggu sampai sistik tersebut keihatan kering dan berwarna kuning kemudian angkat sistik tersebut dan tiriskan.

Senin, 16 Juni 2014

PEMBESARAN UDANG GALAH

PENDAHULUAN

1.    Latar Belakang
Pengembangan usaha budidaya udang galah (Macrobrachium rosenbergii de Man) merupakan usaha perikanan yang cukup prospektif untuk dikembangkan, karena harga jual yang tinggi serta permintaan pasar yang cukup signifikan mampu menghadirkan udang ini menjadi andalan komoditas perikanan di masa mendatang. Udang  galah merupakan salah satu peluang usaha yang dapat dikembangkan mengingat  permintaan pasar nasional saat ini yang semakin tinggi.  

2.     Penyediaan Sarana dan Prasarana
Kelancaran dalam kegiatan produksi ditunjang oleh sarana dan prasarana yang ada, subsistem satu ini merupakan struktur yang paling bawah  dan dasar melakukan bisnis. Sarana budidaya adalah peralatan yang diperlukan  langsung dalam kegiatan produksi, sedangkan prasarana memiliki pengertian segala sesuatu yang dapat menunjang kegiatan produksi.  Sarana produksi yang dibutuhkan dalam budidaya udang galah adalah benih, pupuk kandang, pupuk buatan, kapur, pakan dan obat-obatan. Sedangkan prasarana yang menunjang untuk kegiatan usaha budidaya yaitu lahan sebagai media hidup dan peralatan untuk panen serta pengangkutan.


3.     Persiapan Kolam
Persiapan kolam dalam suatu budidaya adalah salah satu faktor keberhasilan dalam suatu usaha budidaya ikan termasuk budidaya udang galah. Sebelum penebaran benih dilakukan, kolam perlu dikeringkan untuk menghilangkan senyawa beracun, mempercepat proses mineralisasi dari sisa bahan organik serta membasmi hama dan penyakit. Selama pengeringan dilakukan perbaikan pematang, saluran pemasukan, dan pengeluaran serta pengolahan tanah dasar kolam. Setelah dilakukan pengeringan lalu proses selanjutnya adalah pengapuran agar tanah dasar keasamannya dapat dikurangi. Jumlah kapur yang di berikan kurang lebih 100 gram/m2.
Langkah selanjutnya setelah pengapuran adalah pemberian pupuk, pupuk yang diberikan oleh pembudidaya udang galah adalah pupuk  Kandang, Urea dan TSP. Pemupukan ini dilakukan untuk merangsang pertumbuhan makanan alami, terutama plankton nabati. Penggunaan pupuk kandang 100 gram/m2 Urea 50 gram/m2 sedangkan penggunaan TSP 50 gram/m2. Setelah dilakukan persiapan kolam, dialirkan air setinggi 30 cm.  Setelah 3 – 4 hari, air dinaikan 50 – 60 cm. Kemudian kolam diberi pelindung berupa pelepah daun kelapa yang diletakkan di dasar kolam. 

4.     Penebaran Benih
Penebaran benih udang galah  (juvenil) biasanya dilaksanakan pada pagi  hari atau sore hari dengan aklimatisasi (penyesuaian suhu) sebelumnya kurang lebih selama 15 menit.  Aklimatisasi dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik yang berisi benur selama kurang lebih 15 menit agar suhu air di wadah kantong plastik dan di kolam menjadi sama. Setelah itu kantong plastik dibuka dalam kolam pembesaran.  Penyesuaian suhu dilakukan untuk menghindari stres akibat perbedaan suhu air media, akibat proses pengangkutan dengan air kolam. Padat tebar udang galah yang optimal adalah 10-15 ekor/m2 untuk pembesaran, dan 25-50 ekor/m2 untuk pentokolan.

5.     Pemberian Pakan
Pakan yang diberikan untuk udang galah berupa pakan buatan (pelet). Pada umumnya pemberian pakan dilakukan dalam tiga kali sehari yaitu pagi, siang, dan sore hariPakan sebaiknya diberikan berkisar antara 15-30 % setiap harinya untuk pentokolan dan 8-10 % dari berat biomas untuk pembesaran. Pembudidaya udang galah melakukan pemberian pakan tidak menggunakan dosis tetapi hanya perkiraan saja. Udang galah mempunyai sifat yang kurang agresif dalam hal menyergap makanan, oleh karena itu makanan yang diberikan harus tenggelam dalam air, tidak membusuk dalam waktu 10 jam, berbentuk remah (crumble) yang tidak mudah hancur dalam air, dan berprotein tinggi.

6.     Pemanenan
Udang Vannamei dapat dipanen setelah berumur 100 – 120 hari. Sistem pemanenan yang dilakukan pembudidaya umumnya dilakukan panen total pada malam atau pagi hari.  Teknik pemanenan dilakukan dengan mengeluarkan air di dalam tambak dengan mencabut pipa pengatur ketinggian air atau membuka pintu air, yang sebelumnya telah dipasang jaring panen, sehingga bila pintu air dibuka udang-udang dapat terkumpul di dalam jaring.  Sisa udang yang tidak tertangkap dalam petakan tambak diambil secara manual (pemungutan).  Hasil panen ditampung dalam wadah penampungan (drum atau blong) untuk diangkut ke tempat penampungan udang. 

7.     Pasca Panen
Penanganan (handling) hasil udang galah setelah panen harus diusahakan agar udang selalu dalam keadaan segar karena tingkat keberhasilan pasca panen akan mempengaruhi nilai jual.  Hasil panen pembudidaya udang galah di Kecamatan Cisolok rata-rata baru mencapai 26% dari padat tebar.  Menurut BBAT (2000), hasil panen yang baik/optimal adalah 50-60% dari padat tebar.

8.     Pemasaran

Subsistem Pemasaran Mencakup pemasaran hasil-hasil usahatani untuk pasar domestik maupun ekspor.  Ketersediaan pasar sangat penting untuk kelangsungan produksi, apabila proses produksi telah berjalan maka keberhasilan kegiatan agribisnis udang galah  ditentukan oleh kemampuannya  untuk menganalisa dan mengantisipasi pasar. Beberapa yang perlu diperhatikan sebelum melangkah ke aspek pasar antara lain : sasaran pasar,  strategi dan persaingan dan persaingan pasar.

PEMBESARAN UDANG VANAMEI

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Memasuki era globalisasi, perdagangan produk perikanan budidaya akan berkembang pesat dengan kompetisi yang semakin ketat.  Berkenaan dengan hal ini, pengembangan perikanan budidaya dihadapkan pada tuntutan untuk mampu mengembangkan sistem usaha budidaya yang berdaya saing, berkelanjutan dan berkeadilan guna menyikapi perubahan yang terus berjalan.  Disamping itu, pengembangan ini juga harus mampu mendorong masyarakat perikanan untuk meningkatkan jiwa wirausaha (enterpreneurship) dan menerapkan teknologi budidaya yang berwawasan lingkungan.  Produksi udang dalam beberapa tahun terakhir telah menunjukkan laju pertumbuhan yang positif.  Selain peningkatan volume produksi, industri udang juga diwarnai oleh pergeseran sistem produksi dari usaha penangkapan ke usaha budidaya khususnya di tambak.  Udang Vannamei mempunyai nama umum pacific white shrimp, camaron blanco, dan langostino.  Sedangkan peristilahan dalam F.A.O yaitu whiteleg shrimp (Inggris), crevette pattes blances (Perancis), dan camaron patiblanco (Spanyol).
Udang Vannamei berwarna putih bening sehingga sering disebut udang putih.  Bentuk tubuh bercorak kebiru-biruan dari kromatofor yang berwarna biru dan terpusat diantara batas uropoda dan telson.  

1.    Sarana Produksi
Salah satu kunci keberhasilan dari suatu usaha adalah tersedianya sarana dan prasarana yang tepat waktu, tepat mutu, dan tepat jumlah.  Ketersediaan sarana dan prasarana produksi mempengaruhi harga dari suatu hasil produksi.  Disamping itu, ketersediaan komponen aksesibilitas seperti keadaan jalan, kelancaran sarana transportasi, dan adanya alat informasi yang cukup sangat mempengaruhi kemajuan kegiatan usaha (Downey dan Erickson, 1992).  Beberapa sarana yang umumnya diperlukan dalam budidaya Vannamei antara lain petakan tambak, benur, pakan, pupuk, kapur, bakteri probiotik, peralatan-peralatan (berupa kincir air, jaring, dan peralatan lainnya), dan mesin terutama pompa air.  

2.    Persiapan Tambak
Persiapan tambak merupakan langkah awal yang mutlak dilakukan pada kegiatan budidaya Udang Vannamei sehingga proses pemeliharaan dan produktivitasnya dapat berjalan optimal.  Langkah-langkah persiapan adalah ; a) pembersihan lumpur dan organisme pengganggu, pencucian dasar tambak, pengeringan dasar tambak, perbaikan pematang, pengapuran I, pembalikan tanah dasar dan perataan dasar tambak, pengapuran II dan pemupukan, pengisian air dan penumbuhan plankton, dan persiapan tebar. 
Beberapa tahapan dan proses persiapan tambak adalah sebagai berikut :
a. Pemberantasan Hama yaitu pemberantasan hama ikan liar digunakan bahan yang mudah terdegradasi dan tidak merusak lingkungan, misalnya saponin sebanyak 10 ppm, atau digunakan kaporit dengan dosis 30 ppm, atau dapat pula digunakan Brestan 60 EC. apabila di dasar tambak banyak terdapat hama trisipan sebagai bahan pemberantas yang cukup efektif namun sangat berbahaya karena residu yang ditinggalkan akan terakumulasi di dasar tambak dan berdampak terhadap kerusakan lingkungan. 
b.   Pengeringan, Pengapuran, Pengolahan Tanah Dasar dan Penataan Dasar Tambak.
Tahap dan proses penyiapan tanah dasar adalah sebagai berikut ; a)  Pengeringan dasar tambak dengan kondisi lembab (tidak terlalu kering) ; b) Pengangkatan tanah rusak (limbah padat/organik) ;  c)  Pengontrolan bocoran (rembesan) pada seluruh pematang tambak ;    d)  Perbaikan pematang secara menyeluruh ; e)  Penataan tanah dasar ; f)  Pengolahan tanah dasar ; dan g)  Pengapuran.
  
B.     Penebaran Benur
Penebaran benur umumnya dilakukan pembudidaya pada pagi hari.  Kepadatan benur yang ditebar antara 100 - 120 ekor/m2, sedangkan untuk semi intensif kepadatan benur antara 40 – 50 ekor/m2.  Jenis benur yang ditebar dibedakan menjadi benur lokal dan benur F1 (benur keturunan pertama), dengan ukuran benur PL 10 (10 hari semenjak Post Larva).  Menurut Adiwidjaya et al (2004), padat penebaran (density) yang optimal pada pembesaran udang Litopenaeus vannamei dengan teknologi intensif berkisar antara 50 – 100 ekor/m2 dan super intensif dengan kepadatan 150 – 300 ekor/m2

C.     Pemeliharaan
Pemeliharaan pada pembesaran Udang Vannamei dilakukan selama 100 – 120 hari tergantung pada pencapaian size yang diinginkan.  Pada pembesaran Udang Vannamei ini, pembudidaya mengklaim proses budidaya yang diterapkannya ramah lingkungan karena dalam proses budidayanya tidak menggunakan antibiotik atau bahan kimia tertentu.   Selama pemeliharaan udang diberi pakan buatan dengan kandungan protein sekitar 30 %, dengan jenis dan ukuran pakan bervariasi tergantung pada umur dan ukuran udang yang dipelihara.  Frekuensi pemberian pakan pada masa pemeliharaan masa awal pemeliharaan sebanyak 2 – 3 kali sehari, karena masih mengandalkan pakan alami.  Frekuensi pemberian dapat ditambah menjadi 4 – 6 kali sehari dengan interval waktu 4 jam per pemberian pakan.  Pemberian pakan dilakukan dengan cara ditebar secara merata ke dalam tambak, dengan setiap kali pemberian pakan 2 – 4 % dari jumlah pakan yang tebar dimasukkan ke dalam anco. 
Untuk mengetahui pertumbuhan udang dan menduga populasi udang di dalam petakan tambak dilakukan pengambilan contoh (sampling) terhadap udang yang dipelihara.  Sampling dilakukan setelah udang berumur 60 hari dan dilakukan secara berkala 7 – 10 hari.  Udang yang terkumpul dihitung beratnya sehingga diketahui biomassa udang dan jumlah pakan yang harus diberikan.  Pergantian air ini dilakukan setelah Udang Vannamei dipelihara lebih dari 40 hari.  Ketinggian air tambak umumnya 100 – 120 cm.  Sebagai catatan sistem pengairan yang umumnya dilakukan adalah sistem terbuka (open water system) dimana air yang dimasukkan ke dalam tambak langsung berasal dari muara tanpa adanya perlakuan terlebih dahulu, begitu pula dengan pembuangan air. Beberapa pembudidaya yang menerapkan teknologi intensif, sistem pengairan yang dilakukan adalah sistem semi tertutup (semi close water system), dimana air yang masuk ke dalam petakan tambak terlebih dahulu ditreatment dalam tandon, namun pembuangan air langsung pada saluran utama (muara). Pembudidaya, baik yang menerapkan teknologi intensif maupun semi intensif, umumnya tidak melakukan perlakuan terhadap buangan air tambak, sehingga limbah tersebut berpotensi menimbulkan pencemaran pada sumber air.
Manfaat penambahan bakteri probiotik pada tambak ini adalah untuk menstabilkan kualitas perairan dalam tambak dimana bakteri ini menguraikan sisa-sisa bahan organik yang terakumulasi selama masa pemeliharaan. Kegiatan yang tidak kalah pentingnya selama masa pemeliharaan udang adalah pengamatan kualitas air dan kesehatan udang.  Indikator kesehatan udang ini adalah normalnya fungsi fisiologis yang secara fisik dapat terlihat dari nafsu makan, pertumbuhan, kelengkapan organ dan jaringan tubuh.  Adapun kontrol terhadap kualitas air umumnya jarang dilakukan oleh pembudidaya karena keterbatasan sarana yang dimiliki.    
 
D.     Pemanenan
Udang Vannamei dapat dipanen setelah berumur 100 – 120 hari. Sistem pemanenan yang dilakukan pembudidaya umumnya dilakukan panen total pada malam atau pagi hari.  Teknik pemanenan dilakukan dengan mengeluarkan air di dalam tambak dengan mencabut pipa pengatur ketinggian air atau membuka pintu air, yang sebelumnya telah dipasang jaring panen, sehingga bila pintu air dibuka udang-udang dapat terkumpul di dalam jaring.  Sisa udang yang tidak tertangkap dalam petakan tambak diambil secara manual (pemungutan).  Hasil panen ditampung dalam wadah penampungan (drum atau blong) untuk diangkut ke tempat penampungan udang. 

Selasa, 10 Juni 2014

Revolusi Biru Berkelanjutan

Meledaknya jumlah penduduk dunia menyebabkan eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran. Tahun 1960-an dicanangkanlah Revolusi Hijau, tetapi lahan darat belum cukup untuk penyediaan pangan sehingga dekade berikutnya dicanangkan Revolusi Biru untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut.



Beruntung 70 persen wilayah Indonesia adalah laut yang menyimpan sejumlah besar seperti sumber daya ikan, bahan tambang, air mineral, wisata bahari, dan jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Program peningkatan produksi perikanan di Indonesia dimulai sejak tahun 1970-an melalui kegiatan motorisasi penangkapan ikan. Tahun 1973 dioperasikan kapal tuna longline di perairan ZEE Samudra Hindia dan tahun 1974 ratusan kapal purseine di Jawa Timur.

Saat ini terjadi peningkatan jumlah kapal, yakni 790.000 unit, 49 persen di antaranya adalah perahu motor (Statistik, 2007). Produksi dan jumlah nelayan meningkat, tetapi produktivitas masih rendah, sekitar 4,5 kg per nelayan per hari, jauh di bawah nelayan negara-negara maju sekitar 100 kg per nelayan per hari. Dengan demikian, pendapatan nelayan/petani ikan sekitar Rp 15.000 per hari, jauh di bawah upah minimum.


Produksi perikanan tangkap di Indonesia umumnya meningkat sekitar 3 persen per tahun, tetapi di beberapa lokasi, seperti di wilayah selatan Jawa, terjadi penurunan dan perlu diwaspadai. Tidak beroperasinya kapal-kapal akibat naiknya harga bahan bakar minyak menjadi salah satu faktor penurunan produksi (Kompas, 20/10/2005). Sementara itu, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru 22 kg per kapita per tahun lebih rendah dibandingkan dengan Thailand, 35 kg per kapita per tahun.

Pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan (KP) tidak hanya untuk mengejar target produksi karena peningkatan produksi tidak selalu diikuti dengan peningkatan pendapatan. Selain itu, peningkatan produksi yang tidak memerhatikan aspek sustainability juga akan menjadi bom waktu ambruknya kegiatan perikanan, karena itu fungsi pengelolaan berperan. Pedoman pengelolaan perikanan berkelanjutan dan bertanggung jawab tertuang dalam Code of Conduct for Responsible Fishing (CCRF) yang diadopsi FAO sejak tahun 1995.

Indonesia telah menuangkan implementasi CCRF dalam Undang-Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 3 yang menyebutkan, tujuan pembangunan perikanan antara lain (1) meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan; (2) meningkatkan penerimaan dan devisa negara; (3) mendorong perluasan kerja, ...; (8) mencapai pemanfaatan sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan lingkungan sumber daya ikan secara optimal; (9) menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan, dan tata ruang.

Pemerintah Indonesia telah menggariskan aneka kebijakan dan program untuk tujuan itu, tetapi fungsi pengelolaan belum berjalan mulus. Pemerintah kabupaten/ kota yang berwenang dalam pengelolaan garis pantai harus aktif mengoptimalkan potensi secara lestari sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing. Berdasarkan pengamatan lapangan Kepala PPN Kejawenan Cirebon Ir Jainur, jika fungsi pengelolaan berjalan baik, tujuan pembangunan perikanan akan tercapai.

Garam dan air laut dalam

Ironis. Hingga kini, Indonesia masih mengimpor garam industri sekitar 1,5 juta ton per tahun seharga Rp 600 miliar. Di sisi lain, kini dunia dihadapkan pada krisis air bersih. Menurut World Water Forum, 1 dari 4 orang di bumi kekurangan air.


Laut dalam (> 200 meter) menjadi salah satu sumber air dan garam berkualitas tinggi pada masa mendatang karena kandungan mineralnya tinggi, bebas polusi dan bakteri, serta kandungan NaCl tinggi.

Dengan proses desalinasi, air dan garam dari air laut dalam (ALD) dipisah.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah mencanangkan program pengembangan ALD beberapa tahun lalu.

Upaya pemanfaatan ALD di Indonesia telah dimulai melalui kerja sama antara Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan perusahaan Jepang, Kyowa, dirintis Prof Bonar Pasaribu. Kegiatan eksplorasi di beberapa lokasi sudah dilakukan dan kini produksi dengan kapasitas skala kecil telah dimulai di Bali.

Percepatan Revolusi Biru

Optimalisasi pemanfaatan sumber daya KP tidak lepas dari political will, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sumber daya manusia. Kemauan politik di bidang KP terlihat sejak dibentuknya DKP 10 tahun lalu. Dalam usia muda, pencapaian tujuan pembangunan KP belum terlaksana optimal, karena itu diperlukan dorongan khusus.

Terlepas dari kekurangan, program Revolusi Hijau (Bimas) berhasil mencapai swasembada beras. Pengalaman yang sama dapat diterapkan dalam percepatan revolusi biru karena banyak sektor terlibat langsung dengan laut dan harus bersinergi agar tujuan pembangunan kelautan dan perikanan.

Iptek dan SDM

Iptek dan SDM akan amat berperan dalam mencapai tujuan Revolusi Biru. Perkembangan iptek kelautan di dunia amat pesat. Mengingat laut yang tidak mengenal batas-batas fisik, teknologi satelit oseanografi berperan penting dalam pemantauan proses oseanografi. Data dari satelit itu mulai dari kelimpahan fitoplankton, ekosistem terumbu karang, mangrove, arah dan energi arus, tinggi gelombang, kecepatan angin, serta suhu. Data dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan produktivitas nelayan, pengaturan daerah penangkapan ikan, dan pemetaan distribusi larva ikan. Data satelit altimeter digunakan untuk penentuan anjungan pengeboran minyak dan alur pelayaran yang optimal.

Pelaku kegiatan di sektor KP mayoritas adalah nelayan yang masih jauh dari sentuhan teknologi sehingga perlu bimbingan dan penyuluhan. Terbatasnya jumlah dan kemampuan penyuluh dapat diatasi melalui kerja sama dengan program KKN mahasiswa yang berperan sebagai agen pembaruan. Program ini dapat dilaksanakan berkesinambungan 10 sampai 20 tahun, dengan harapan terjadi peningkatan tarap hidup nelayan.

Sumber : 
Jonson Lumban Gaol Lektor Kepala; 
Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB

PETA PRAKIRAAN DAERAH PENANGKAPAN IKAN


Jumat, 06 Juni 2014

Overfishing Memiskinkan Nelayan

Overfishing (penangkap ikan berlebihan) merupakan salah satu penyebab kemiskinan nelayan. Oleh sebab itu saatnya dilakukan pengaturan pembatasan penangkapan ikan agar ada waktu bagi biota laut untuk pulih.

Hal itu diungkapkan Pigoselpi Anas dalam ujian terbuka doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB) Jumat (30/12) petang. Istri mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Dr Rokhmin Dahuri MSc ini berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan para penguji: Dr Ir Dedy H Sutisna MS, Dirjen Perikanan Tangkap Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Prof Dr Mulyono Baskoro Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada ujian terbuka di Kampus IPB Bogor.
Sedang bertindak sebagai Komisi Pembimbing adalah Dr Ir Luky Adrianto sebagai ketua, Prof Dr Ir Ismudi Muchsin dan Dr Arif Satria SP MSi sebagai anggota. Pada ujian itu perempuan kelahiran Payakumbuh, Sumatera Barat 20 Februari 1960 ini, berhasil mempertahankan disertasi berjudul ‘Studi Keterkaitan Antara Sumberdaya Ikan dan Kemiskinan Nelayan sebagai Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat’.

”Seperti hasil penelitian saya, di Kabupaten Cirebon Jawa Barat, kemiskinan disebabkan faktor alamiah. Kondisi sumber daya ikan sudah overfishing dan juga alat tangkap dari 13 alat tangkap yang digunakan para nelayan Cirebon ada delapan alat tangkap yang sudah berlebih,” tandas Epi, begitu ia akrab disapa.
Karena itu, ibu empat anak ini berpandangan agar Pemerintah Daerah Cirebon mengeluarkan pengaturan penangkapkan ikan yang sudah overfishing. Selain itu ada dua alternatif yang diusulkan Epi. Bisa ditambah armadanya, bisa juga ditambah tripnya. ”Maksud saya waktu penangkapan ikannya dapat diperlama,” ujarnya.

Dalam penelitiannya sejak Oktober 2010 hingga Maret 2011 terhadap kehidupan nelayan di Kabupaten Cirebon Jawa Barat, Epi melihat bagaimana kateristik para nelayan di wilayah tersebut. ”Dalam penelitian tersebut saya juga menemukan kebanyakan nelayan di Cirebon bersedia untuk melaut lebih dari satu hari. Artinya, kalau pemerintah serius mengatasi kemiskinan ini, tentunya bisa memberikan bantuan kepada nelayan di Cirebon berupa alat tangkap yang lebih canggih, yang bisa operasi lebih dari 12 mil laut lepas,” paparnya.

Hanya saja, imbuh Epi, pemberian alat tangkap yang canggih ini tidak hanya diberikan begitu saja tapi juga harus ada pembekalan sumber daya manusianya dengan pelatihan, sehingga ilmu mereka bertambah. ”Jangan sampai, pemerintah hanya memberikan alat tangkap canggih kemudian membiarkan nelayan berjalan sendiri tanpa bimbingan ilmu dan teknologi,” tandasnya mengingatkan.

Epi optimis, pemberian alat tangkap yang canggih ini bisa menjadi salah satu langkah untuk mengatasi masalah kemiskinan di lingkungan nelayan. Dia berpandangan faktor lainnya yang menyebabkan kemiskinan cukup banyak. Hanya saja usulannya tersebut bisa menjadi salah satu langkah dalam mengatasi masalah kemiskinan di lingkungan nelayan di Kabupaten Cirebon.

Menjawab kenapa terjadi overfisihing, menurut dia,  karena alat tangkapnya sangat banyak. ”Kita tahu, laut itu merupakan open akses, punya semua orang. Semua orang bisa menangkap ikan. Saya pikir harus ada ketegasan dari Pemerintah Daerah untuk membatasi penangkapan ikan di suatu daerah. Seperti yang kita lihat di negara-negara maju, musim tangkap ikan diatur dengan begitu baiknya, sehingga tidak terjadi overfishing. Kapan kita boleh menangkap ikan dan kapan kita tidak boleh menangkap ikan? Pembatasan ini saya pikir harus tegas diatur Pemerintah Daerah. Dengan begini memberi waktu kepada biota yang di laut untuk pulih,” tandasnya.

Sedang mengenai alasan pemilihan tema, menurut Epi, kemiskinan nelayan menjadi isu yang tidak pernah berhenti dari dulu hingga sekarang. ”Saya tertarik, apa sih sesungguhnya yang menjadi faktor penyebab timbulnya kemiskinan di lingkungan nelayan? Apalagi kita tahu, negara maritim tapi nelayan kita miskin. Potensi sumber daya alam sangat tinggi, tapi nelayan yang menggali potensi sumber daya alamnya tetap miskin.”

Ketua DPR RI Marzuki Alie yang mengikuti jalannya ujian terbuka sejak awal hingga akhir mengatakan, supaya memberikan manfaat, siapa saja yang terkait dengan kemiskinan nelayan, diundang menghadiri ujian terbuka doktor seperti ini. ”Saya sampaikan usulan supaya yang terkait dengan masalah kemiskinan nelayan diundang untuk menghadiri ujian doktor terbuka seperti kali ini. Kenapa? Bisa saja dari hasil penelitian ini bisa menjadi kebijakan dari apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah atau legislasi dalam menyelesaikan udang-undang. Karena banyak sekali penelitian yang membutuhkan waktu lama dan biaya cukup besar, selesai penelitian hanya masuk almari,” tegasnya.

Sementara itu, salah seorang dosen pembimbing Dr Arif Satria SP, MSi menilai, penelitian yang dilakukan Pigoselpi Anas sangat menarik. ”Ini menarik karena di penelitian ini menggabungkan antara bagaimana sebenarnya kemiskinan dilihat dari kondisi sumber daya alamnya. dan itu yang belum ada. Selama ini penelitian yang ada adalah masih penelitian persepsi. Kalau tadi kelihatan ternyata memang ikan yang sudah overfishing bisa berpengaruh terhadap kondisi nelayan,” jelasnya usai ujian terbuka.

Ia setuju perlunya yang terkait dengan nelayan diundang menghadiri ujian terbuka. ”Saya setuju. Apalagi ini ujian terbuka, promosi. Nah, dalam ujian promosi ini mestinya steakholder dari kelautan datang sehingga bisa menentukan kebijakan yang akan diambil. Kalau kita tahu ternyata faktor alam bisa memengaruhi terhadap kemiskinan nelayan, salah satu solusinya alamnya harus dijaga,” tandasnya.

Sayangnya, sambung Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB ini,  selama ini yang diurus hanya uang. ”Kasih kredit, kasih bantuan kapal dan lain sebagainya. Padahal, ikannya sudah semakin terkuras. Sumber daya alam tidak pernah kita jaga.  Menurut saya ini hasil penelitian yang sangat bagus,” papar Arif.

Menurut Arif, seharusnya ada pembatasan dari pemerintah daerah sehingga tak terjadi overfishing. ”Pengaturannya selama ini masih rendah. Tugas pemerintah adalah mengatur berapa jumlah kapal yang boleh beroperasi, idealnya berapa? Kalau begitu tidak ada ijin baru? Tidak ada kapal baru. Solusi kedua adalah mendorong nelayan untuk bisa melaut hingga di atas 12 mil dengan kapal yang lebih canggih. Itu yang paling bagus,” tandas Arif.(ris)

Perikanan Yang Bertanggung Jawab

 FAO mengadopsi suatu pedoman pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries = CCRF) pada tahun 1995,  yang berarti semua negara anggota termasuk Indonesia memiliki kewajiban politik dan moral untuk mengelola perikanan di negaranya sesuai dengan kaidah FAO yang telah disepakati.

Sistem perumusan suatu dokumen di FAO yang mengikat melalui proses pembahasan bersama semua negara anggota, jadi dokumen CCRF tersebut juga melibatkan delegasi Indonesia secara aktif. Oleh karenanya, jika ada negara yang enggan menerapkan kaidah pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab maka negara tersebut sebenarnya harus malu dalam hubungan internasional, karena mengkhianati komitmennya sendiri. Bagaimana dengan pengelolaan perikanan (khususnya perikanan tangkap) di Indonesia? Apakah sudah sesuai dengan CCRF dan apa perlunya mematuhi CCRF tersebut?.


Data FAO menunjukkan bahwa ikan untuk konsumsi manusia mengambil porsi 18% dari protein hewani; nilai perdagangan ikan dunia lebih dari 50 Milyar USD per tahun; produksi total 117 juta ton per tahun (74% penangkapan dan sisanya budidaya). Isyu penting yang dihadapi perikanan dunia meliputi: ketersediaan pangan untuk manusia; mata pencaharian untuk nelayan dan pembudidaya kecil; konservasi dan manajemen sumberdaya; overfishing (lebih tangkap) dan over capacity(kapasitas berlebih); degradasi lingkungan; dan ikan yang dibuang (discard).

Tujuan mulia CCRF adalah
 1) Terwujudnya manfaat yang lestari dalam hal pangan, tenaga kerja perdagangan, ekonomi bagi manusia seluruh dunia;
 2) Menyediakan prinsip dan standard yang dapat diterapkan dalam konservasi dan manajemen perikanan.

Permasalahan yang dihadapi Perikanan Tangkap di Indonesia adalah masih tingginya illegal fishing, terjadinya overfishing dan over capacity sebagai dampak dari manajemen yang amburadul, menurunnya stock sumber daya ikan, makin menurunnya hasil tangkapan per unit upaya (Catch Per Unit of Effort = CPUE), makin tingginya biaya operasi melaut sebagi dampak makin lamanya hari operasi, serta makin menurunnya profit margin.


Apakah ini berarti pengelolaan perikanan tangkap tersebut belum sesuai CCRF?, jawabannya pasti ya. Coba kita bandingkan dengan pengelolaan di negara-negara lain.

Ada dua kelompok negara sebagai pembanding, satu kelompok adalah yang menerapkan manajemen ketat sesuai CCRF yaitu negara-negara Australia, Eropa (Islandia, Norway dan negara Scandinavia lain), dan Canada.

Kelompok kedua adalah negara-negara yang tidak menerapkan manajemen ketat seperti Malaysia, Thailand, Philippine, Vietnam, Burma, Cambodia. Terjadi perbedaan yang sangat mencolok, untuk negara-negara kelompom pertama ternyata terjadi kelestarian stock ikan dan manfaat ekonomi yang didapat sungguh sangat tinggi, mampu menghasilkan devisa dan PDB yang tinggi serta menjadi andalan ekonomi negara. Untuk kelompok ke dua, terjadi sebaliknya yaitu stock makin menurun, degradasi lingkungan dan manfaat ekonomi sangat rendah. Itulah sebabnya kapal-kapal ikan mereka merambah ke perairan kita secara illegal. Lalu dimana posisi Indonesia?

Manajemen perikanan tangkap di Indonesia masih jauh dibandingkan dengan negara-negara kelompok pertama, namun berada di atas sedikit dari negara-negara kelompok kedua yang notabene pelaku illegal fishing di Indonesia. Apabila tidak ada perbaikan manajemen, maka dalam waktu tidak lama lagi Indonesia akan mengalami hal yang sama dengan Malaysia dan Thailand yaitu stock ikan habis dan nelayan mencuri ikan di negara lain. Indikator terjadinya over fishing dan over capacity saat ini sudah semakin jelas.

Over fishing adalah penangkapan yang melebihi tingkat kelestarian sedangkan over capacity adalah kapasitas penangkapan (modal, upaya, hari melaut) yang makin tinggi namun hasil makin menurun. Indikatornya meliputi:

 1)  Makin langkanya jenis ikan tertentu di suatu kawasan (misalnya Kakap Merah di Laut Arafura);
2)   Nelayan artisanal makin sulit mendapatkan ikan di jalur dekat pantai; 3)CPUE makin menurun (misalnya hook rate Tuna menurun drastis); 
4)   Makin lamanya hari operasi melaut untuk menangkap ikan (terjadi di semua kapal saat ini);
5)    Ukuran ikan yang ditangkap makin kecil;
6)   Usaha penangkapan ikan makin merugi. Parahnya kondisi tersebut tidak lain disebabkan oleh Kebijakan dan regulasi pelaksanaan yang tidak jelas, tidak mengacu kepada CCRF dan tidak berorientasi kepada masa depan kelestarian sumber daya serta tidak berpihak kepada nelayan dan nasib rakyat kecil.
Bukti amburadulnya manajemen perikanan tangkap dapat dilihat dari fakta sebagai berikut:

Pertama,  tidak ada penetapan JTB (jumlah tangkapan yang diperbolehkan) yang seharusnya dijadikan acuan dalam menetapkan jumlah maksimum izin. Seharusnya JTB paling tidak ditetapkan tiap tahun dan hal tsb merupakan tugas Menteri sebagaimana diatur dalam UU Perikanan nomor 31 tahun 2004 pasal 7.

Kedua, jumlah izin penangkapan saat ini terlalu banyak (terutama kapal di atas 30 GT), bandingkan pada tahun 2003 hanya sekitar 3000 izin dan saat ini lebih dari 5000.  Otoritas yang mengeluarkan izin terkesan tidak punya referensi dan tidak ada perhitungan rasional, kebijakannya sporadis dan tidak akuntabel berdasarkan ilmu dasar perikanan. Sungguh naif dan ironis apabila ada statement pejabat yang mengatakan bahwa masih perlu ditingkatkan armada kapal tanpa ada angka referensi.

Ketiga, menaikkan tarif PHP (pungutan hasil perikanan) di tengah kondisiCPUE makin menurun, merupakan hal yang kontradiktif. Bagi kapal eks asing tarif dinaikan 100% tidak masalah karena masih untung,  mengingat cara menangkapnya kebanyakan melanggar aturan kelestarian, alias keruk habis habisan. Kebijakan yang berpihak dapat dilaksanakan misalnya bagi kapal eks asing (yang masih ada ABK asing) tarif naik 200% dan kapal asli Indonesia dengan ABK Indonesia tidak dinaikan atu naik 30%.

Keempat, arah kebijakan tidak menuju kepada prinsip ke hati-hatian (precautionary approach) sebagimana prinsip CCRF, di tengah data stock atau MSY (maximum sustaniable yield) meragukan (data yg digunakan hasil survey th 2001 yaitu 6.4 juta ton?), namun justru gegabah dalam menentukan jumlah izin.

Saat ini diperlukan kebijakan radikal yang dapat menyelematkan kondisi perikanan Indonesia dari keterpurukan dan kekhawatiran habisnya stock dalam waktu beberapa tahun, antara lain:

Pertama, segera lakukan perhitungan JTB dan tetapkan dengan Peraturan Menteri berapa maksimal jumlah izin. Penetapan JTB dapat dilakukan dengan perhitungan cepat sampling hasil tangkapan atau yang disebut metode holistic dalam perhitungan stock ikan, tidak perlu beralasan menunggu metode analitic yang memerlukan waktu lama dan biaya mahal. Balitbang KKP sangat berperan dalam hal ini.

Kedua, menerapkan manajemen ketat dan prinsip precautionary approach dengan berdasarkan kepada pendekatan input control (pengendalian input) dan output control (pengendalian output). Input control dilakukan antara lain dengan mengurangi jumlah izin terutama Purseine dan Pukat Ikan, menetapkan mesh size (ukuran mata jaring) yang lebih besar, mengurangi kapal yang GT nya besar agar yang kecil bisa hidup lebih baik. 

Saat ini justru jumlah izin kapal eks asing dengan GT besar mendominasi kedua alat tangkap tersebut. Purseine akan mengancam kelestarian Tuna karena faktanya banyak menangkap baby Tuna (Tuna kecil), hal ini terbukti banyaknya izin  Purseine menurunkan hook rate kapal Tuna. Pukat Ikan pada dasarnya mirip Trawl, yang dalam berbagai kasus ditemukan oleh jajaran pengawasan kapal Pukat Ikan memodifikasi jaringnya untuk menangkap ikan dasar sehingga semua jenis ikan tersapu bersih. Banyaknya Pukat Ikan akan merusak kelestraian sumber daya ikan dan mematikan kapal dengan lat tangkap lain. Seharusnya kapal Pukat Ikan dihapuskan diganti yang ramah lingkungan agar terjadi pemulihan stock.

Ketiga, nasionalisasi Armada Perikanan, yaitu semua kapal harus dibuat di galangan kapal nasional, semua ABK harus WNI (sebagaimana UU Perikanan nomor 45 tahun 2009 pasal 35A). Bagi kapal eks asing,  dikurangi secara bertahap dan diberi kesempatan membuat kapal sendiri dalam 2-3 tahun, sehingga dalam 3 tahun tidak ada lagi kapal esk asing. Setiap pelanggaran oleh kapal eks asing, langsung cabut saja SIPInya dan paksa ganti kapal asli Indonesia.

Kebijakan bantuan 1000 kapal bagi nelayan  dengan proyek APBN bukan solusi cerdas dan akan menjadi tragedi jika armada kapal eks asing tidak dikurangi dengan jumlah yg sama 1000 kapal. Yang diperlukan nelayan sebenarnya bukan bantuan kapal tapi modal kerja dan modal usaha ber-bunga rendah dengan kemudahan akses perbankan.  Jika anggaran bantuan 1000 kapal dimanfaatkan untuk subsidi bunga dan modal kerja dan peningkatan kapasitas penangkapan (misalnya bantuan cool box), akan jauh lebih mendatangkan kesejahteraan. Apakah ada jaminan jika nelayan diberi kapal yang GT nya besar lalu hasil tangkapan meningkat secara proporsional ditengah stok ikan makin menurun? Secara obyektif hal tersebut sangat skeptis, karena terlalu banyak faktor eksternalitas dalam usaha penangkapan, antara lain kebiasaan, wilayah penangkapan, penguasaan teknologi dll.

Untuk menuju perikanan tangkap yang lestari dan mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat bukanlah hal sulit, karena data dan fakta sangat terukur dan penerapan manajemen juga sangat terukur. Yang diperlukan saat ini adalah penerapan regulasi dan kebijakan yang akuntabel, wisdomyang dilandasi nurani keberpihakan kepada Indonesia dan rakyat kecil dan keberanian serta  kecerdasan mengadakan perubahan ke kondisi yang lebih baik, bukannya sikap ignorance (ketidak pedulian) terhadap masalah yang dihadapi nelayan yang makin sulit hidupnya. Dan, masih termarjinalisasi di negeri bahari yang kita cintai.

Sumber :  Dr. Aji Sularso, Pengamat Kelautan dan Perikanan

Rabu, 04 Juni 2014

KKP Tetapkan Nusa Penida Sebagai Kawasan Konservasi Perairan

Perairan Nusa Penida memiliki keaneka ragaman hayati tinggi dimana terdapat sekitar 149,05 Ha terumbu karang dengan 296 jenis karang. Perairan yang masuk wilayah Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali ini termasuk kawasan segitiga terumbu karang dunia (the global coral triangle) yang saat ini menjadi prioritas dunia untuk dilestarikan. Kawasan ini memiliki 576 jenis ikan, lima diantaranya jenis ikan baru.  Maka  sangatlah tepat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan kawasan Taman Wisata Perairan Nusa Penida, menjadi Kawasan Konservasi Perairan.  Demikan disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif C. Sutardjo, seusai meresmikan Kawasan Konservasi Perairan Taman Wisata Perairan Nusa Penida sebagai bagian rangkaian Festival Nusa Penida di Kabupaten Klungkung, Bali, Senin (9/6).


Sharif menjelaskan, penetapan Kawasan Konservasi Perairan – Taman Wisata Perairan Nusa Penida seluas 20,057 Ha berdasarkan  Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24/KEPMEN-KP/2014.  Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida ini merupakan respon pemerintah pusat atas komitmen pemerintah daerah yang sangat baik dalam upaya menyelamatkan sumber daya laut  di wilayah Kabupaten Klungkung, khususnya perairan Nusa Penida dan Nusa Lembongan. Upaya ini juga mendukung program nasional KKP untuk pencapain 20 juta Ha kawasan konservasi laut tahun 2020. “Penetapan tersebut juga mendukung pencapaian pengelolaan efektif kawasan-kawasan sebagai mandat AICHI target The Conference of the Parties  Convention on Biological Diversity (COP-CBD) ke-10 di Nagoya Jepang,” jelas Sharif.

Sharif menegaskan, Taman Wisata Perairan Nusa Penida menyimpan potensi terumbu karang, mangrove, padang lamun dan hampir seluruh habitat penting sumberdaya ikan. Termasuk mamalia laut seperti paus dan lumba-lumba melintas dikawasan ini. Selain itu, terdapat dua jenis penyu, yaituPenyu Hijau (Green Turtel) dan Penyu Sisik (hawksbill Turtle). Kawasan ini juga menjadi cleaning station ikan Mola-Mola (Sun Fish). Keberadaan jenis ikan unik ini dapat menjadi simbol atau ikon Kabupaten Klungkung menjadi lebih dikenal dunia internasional. Untuk itu KKP sangat mendukung pemanfaatan kawasan konservasi untuk berbagai kegiatan seperti pusat penelitian, pelatihan, pendidikan lingkungan, bisnis, pariwisata, pemberdayaan ekonomi masyarakat. “Maupun pemanfaatan jasa lingkungan dapat dioptimalkan dengan tidak melupakan fungsi konservasi sumberdaya ikan yang sesungguhnya,” tegas Sharif.

Menurut Sharif, kekayaan hayati laut Nusa Penida telah membawa manfaat ekonomi dan jasa lingkungan bagi Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Terumbu karang (coral reef), hutan bakau (mangrove), ikan Pari Manta (Manta Ray), ikan Mola-Mola (Sunfish), Penyu (Sea Turtle), Lumba-lumba (Dolphin), Hiu (Shark) dan Paus (Whale), merupakan atraksi menarik bagi wisata bahari. Bahkan diperairan Nusa Penida terdapat lebih dari 20 titik lokasi penyelaman, dengan beberapa lokasi penyelaman favorit seperti Crystal Bay, Manta Point, Ceningan Wall, Blue Corner, SD-ental, Mangrove-Sakenan, Gemat Bay dan Batu Abah. “Untuk itu sangat tepat Pemda Klungkung telah menetapkan kawasan pencadangan TWP Nusa Penida. Dimana, pasca pencadangan, sudah banyak upaya yang dilakukan dalam pengelolaan kawasan konservasi ini, antara lain pembuatan pokja Nusa Penida, penyusunan zona kawasan, monitoring sumberdaya, penyusunan profil perikanan, penyusunan profil wisata bahari dan sebagainya,” jelas Sharif.

Upaya pengelolaan efektif yang telah dilakukan pemerintah Kabupaten Klungkung telah memperoleh penghargaan Anugerah E-KKP3K kategori percontohan. Kawasan ini menjadi pilot project pengelolaan kawasan yang efektif, berbagai dukungan dan fasilitasi telah dikembangkan, misalnya untuk mendukung implementasi rencana zonasi dan rencana pengelolaan, rencana bisnis wisata bahari, penguatan kelembagaan pengelola, penanaman mangrove, rehabilitasi terumbu karang, pembuatan pusat dan papan informasi, percontohan diving site, percontohan pemanfaatan perikanan, budidaya rumput laut, pemberdayaan masyarakat serta berbagai upaya pemanfaatan ekonomi berbasis konservasi lainnya. Kawasan Konservasi Nusa penida juga menjadi pilot percontohan untuk programblue economy kementerian kelautan dan perikanan. “Pola pengelolaan yang terpadu yang melibatkan multipihak melalui akses pendanaan yang berkelanjutan dari berbagai sumber dapat dilakukan di Kawasan konservasi Nusa Penida. Sehingga keanekaragaman yang ada di Kawasan ini dapat terjaga,” tambah Sharif.

 

Komitmen KKP dan Peringatan Hari Terumbu Karang

Sementara itu Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Sudirman Saad menambahkan, penetapan kawasan konservasi perairan sebagai bentuk komitmen KKP untuk menjaga ekosistem laut tetap lestari dan dapat dikelola secara berkelanjutan. Apalagi, ekosistem terumbu karang selain memiliki fungsi bagi biota laut, juga memiliki fungsi sebagai penyerap karbon, pemecah gelombang laut, penghasil ikan yang sangat berguna bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil secara khusus dan bagi seluruh rakyat Indonesia secara umum. Bersama dengan kesatuan ekosistem pesisir lainnya yakni padang lamun dan mangrove berfungsi sebagai perisai penangkal ancaman bencana pesisir seperti abrasi, tsunami serta menjadi bagian dari upaya dunia untuk mengatasi dampak perubahan iklim. “Untuk itu sangat tepat penetapan kawasan ini bertepatan dengan peringatan hari terumbu karang internasional Coral day yang diperingati setiap tanggal 9 Juni, diberbagai belahan dunia,” ujar Sudirman.  

Sudirman menjelaskan, Kawasan Konservasi Perairan ini merupakan bentuk pengelolaan pengelolaan kawasan laut dengan sistem zonasi. Terdapat 4 zona, yaitu zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. “Sistem zonasi ini sangat terbuka untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan baik untuk penelitian berbagai aspek, pendidikan generasi muda, aktivitas perikanan, pariwisata bahari dan kegiatan lainnya yang mendukung pengembangan ekonomi lokal berbasis konservasi”, jelas Sudirman.

Di dalam kawasan diatur zona-zona seperti zona inti yang gunanya untuk melindungi tempat-tempat ikan berpijah dan bertelur sehingga zona ini sama sekalian tidak boleh diganggu. Sementara itu zona perikanan berkelanjutan diperuntukan agar nelayan Nusa Penida tetap dapat menangkap ikan, tentunya dengan alat tangkap dan cara yang ramah lingkungan. Penangkapan ikan dengan cara merusak seperti bom dan potasium-sianida dilarang digunakan di dalam kawasan Nusa Penida. Sementara zona lainnya juga berperan di dalam melindungi terumbu karang, hutan bakau dan padang lamun yang merupakan ekosistem penting pesisir dimana ikan dan biota laut lainya berproduksi, bertelur, berlindung dan mencari makan didalamnya. “Jika ekosistem ini rusak maka ikan akan semakin berkurang dan akan berdampak kepada nelayan Nusa Penida,” tegas Sudirman.

Sebagai bentuk perayaan peringatan hari terumbu karang internasional (coral day), pemerintah daerah menyelenggarakan Festival Nusa Penida yang dipusatkan di pulau Nusa Penida Kabupaten Klungkung. Selain peresmian Taman Wisata Perairan Nusa Penida sebagai Kawasan Konservasi Perairan menjadi agenda utama, festival ini juga mencakup beberapa kegiatan lainnya seperti gerakan bersih-bersih pantai dan laut, tanam mangrove dan transplantasi terumbu karang. Sebelumnya, Indonesia dan lima Negara anggota Coral Triangle Initiative for Coral Reef, Fisheries and Food Security/CTI-CFF (Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon) menetapkan 9 Juni 2012 sebagai Coral Triangle Day (CT day) atau saat ini disebut Coral Day. Penetapan ini sehari setelah peringatan World Ocean Day pada tanggal 8 Juni dan akan diperingati setiap tahun. Dimana pada tahun 2014 ini telah memasuki tahun ketiga. Sebelumnya, di Indonesia perayaan di pusatkan di Pantai Kedonganan, Bali (2012) dan Pantai Taman Loang Baloq, Lombok (2013).

Sumber 
http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/10679/KKP-Tetapkan-Nusa-Penida-Sebagai-Kawasan-Konservasi-Perairan/