Jumat, 10 Juli 2009

PIAGAM KERJASAMA PARTAI DEMOKRAT DAN PARTAI KEADILAN SEJAHTERA TAHUN 2009-2014

Atas berkat Rahmat Allah SWT, Para penandatangan piagam kerjasama
telah sepakat untuk membentuk koalisi berbasis platform dalam Kabinet
dan Parlemen periode tahun 2009 - 2014. Koalisi yang dibentuk oleh
Para penandatangan piagam ini mempunyai visi, misi dan tujuan bersama
untuk mengkonsolidasikan gerakan reformasi guna memperkuat sistem
politik demokrasi dan sistem pemerintahan Presidensial sebagaimana
yang diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, serta memastikan agar proses transisi demokrasi segera
mengarah pada terwujudnya cita-cita nasional yang terkandung dalam
Pembukaan UUD 1945 yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, melindungi segenap
bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Dalam Iingkup nasional, Para penandatangan menyadari bahwa reformasi
yang telah bergulir 11 tahun pada kenyataannya sampai hari ini belum
sepenuhnya bisa memenuhi harapan rakyat. Para penandatangan sepakat
untuk memperkecil jarak antara harapan dengan kenyataan, agar dalam
waktu 5 tahun mendatang tidak menjadi potensi kerawanan sosial yang
bermuatan perilaku kekerasan secara kolektif. Para penandatangan
piagam bersepakat untuk bekerjasama memberikan respon atau jawaban
dengan mengutamakan prinsip-prinsip kepedulian dan keberpihakan kepada
kepentingan Rakyat Indonesia yang mendambakan dan mengharapkan
kepastian hidup dan perbaikan hidup, melalui upaya perjuangan dan
pemberdayaan parlemen dan pemerintahan yang bersih, terhormat, bebas
Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), kredibel serta mampu menjalankan
fungsi pengendalian dan keseimbangan (checks and balances) terhadap
suatu pemerintahan terpilih yang didasarkan pada sistim presidensial
yang kuat, kompak dan efektif.

Dalam lingkup regional dan internasional sesuai amanat konstitusi,
Para penandatangan piagam bersepakat untuk berinisiatif mempelopori
pelaksanaan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial di Iingkungan ASEAN, Asia Pasifik, Dunia
Islam dan belahan dunia lainnya. Senantiasa konsisten dalam mendukung
perjuangan bangsa-bangsa yang belum merdeka, seperti Palestina, dan
negara-negara yang tidak diuntungkan dalam hubungan dan pergaulan
internasional.

Semoga Allah SWT memberkati piagam kerjasama ini.

PARTAI DEMOKRAT PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

Hadi Utomo Tifatul Sembiring
Ketua Umum Presiden

Marzuki Alie M. Anis Matta
Sekretaris Jenderal Sekretaris Jenderal

NEOLIBERALISME DAN PENGALAMAN INDONESIA

NEOLIBRALISME, sering dipertukarkan dengan fundamentalisme pasar (market fundamentalism) (Stiglitz, 2006:576), menjadi kata yang populer saat ini. Menjelaskannya tidak mudah, tetapi kalau ada kata lain yang bisa dipakai untuk menggantikannya agar mudah dipahami secepat kilat, maka pilihannya mungkin jatuh pada kata ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Ada alasannya, karena Milton Friedman, penerima nobel tahun 1976 dan penulis buku ‘Capitalism and Freedom,’ yang dianggap salah seorang penggagas ide-ide neoliberalisme, menjadikan freedom sebagai hal paling pokok dalam gagasan-gagasannya. Di buku tersebut, dia menandaskan bahwa kemerdekaan ekonomi adalah keharusan menuju kemerdekaan politik (Friedman, 1962). 

Tetapi freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang menafsirkan. Seperti kata Matthew Arnold ‘freedom is a very good horse to ride, but to ride somewhere’ (dikutip oleh Harvey , 2005:6). Ketika di tahun 2005, sekelompok kelas menengah terpelajar di Jakarta , misalnya, memanfaatkan ruang terbuka reformasi, dengan bebas memasang iklan mendukung kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM, sebuah program di bawah payung neoliberalisme. Itu adalah freedom, bukan karena beberapa orang di antara mereka adalah aktivis ‘Freedom Institut,’ tetapi itulah contoh sederhana apa itu kemerdekaan berpendapat, tergantung siapa yang melakukannya. 

Sebaliknya, seperti dilaporkan Pos Kota, dengan cara berbeda, 10/5/2008, Jamaksari, seorang buruh tani dengan kerja serabutan, warga Kampung Kemanisan RT 03/02, Desa Kebuyutan, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang Banten, secara ‘bebas’ pula memilih gantung diri dengan tali plastik, yang diikat di dahan pohon petai, di kebun milik warga setempat. Sehari sebelumnya, dia berkeluh kesah kepada para tetangga, bahwa ia sangat terpukul dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM (dikutip oleh Arismunandar 2008). Kasus Jamaksari kemungkinan hanya puncak gunung es dari maraknya kasus-kasus bunuh diri yang marak terjadi menyusul kebijakan-kebijakan neoliberal. VHR Media.com (2007) melaporkan bahwa antara 2005 dan 2007 terdapat sekitar 50,000 orang Indonesia bunuh diri karena kemiskinan dan himpitan ekonomi. Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti A Prayitno dalam laporan tersebut menyebut kemiskinan yang terus bertambah, mahalnya biaya sekolah dan kesehatan, serta penggusuran sebagai faktor penyebab. Di sini, freedom juga muncul dalam wajah lain, yakni tidak bebas dari rasa lapar. 

Cerita seperti ini perlu dihadirkan untuk membawa percakapan tentang neoliberalisme tidak mengawang-awang dan elitis, tetapi turun ke bumi dengan contoh-contoh lapangan yang konkret. Tulisan ini lebih memusatkan perhatian pada pokok-pokok pikiran neoliberalisme dan kritik-kritik terhadapnya, gambaran ringkas tentang sejarah kelahiran paham ini sampai masuk ke dalam kekuasaan dan pengalamannya di Indonesia.