Jumat, 27 April 2018

JENIS DAN POLA MAKAN LOBSTER AIR TAWAR

Dilihat dari kebiasaan makanan (food habit), hewan dibagi dalam tiga golongan, yaitu ikan pemakan tumbuhan (herbivora), ikan pemakan hewan (carnivora) dan ikan pemakan segala (omnivora).
Ikan mas termasuk herbivora atau ikan yang sepanjang hidupnya pemakan tumbuhan. Menurut Rita Suryani (2005) lobster air tawar tergolong karnivora, yaitu pemakan segala, baik tumbuhan maupun hewan.

Lobster air tawar dapat memakan bahan hewani, seperti cacing sutera, cacing air, cacing tanah dan zooplankton. Sementara bahan nabati yang sangat disukai adalah tanaman air, sperti lumut, akar salada air dan tanaman air lainnya. Menurut Wiyanto dan Hartono (2003) selain pakan alami segar, lobster juga menyukai pakan buatan, terutama pelet.

Sedangkan menurut Iskandar (2003), selain lumut dan cacing, lobster juga suka dengan biji-bijian, ubi-ubian dan bangkai binatang. Sebelum memangsa makanan, lobster mendeteksi makanan itu dengan antena pada kepala, kemudian jika makanan itu sudah sesuai dengan keinginan, mangsa akan ditangkap dengan capitnya yang kuat dan kokoh. Setelah itu, mangsa diserahkan pada kaki jalan pertama, yang berfungsi sebagai tangan, dan siap dikonsumsi.

Karena pelet khusus lobster jarang, maka pelet lain juga bisa diberikan, tapi kandungan protein pakan tersebut harus berkisar antara 30 – 40 persen. Menurut Iskandar (2003), jenis pelet komersil untuk lobster air tawar adalah pelet untuk windu dan udang galah. Dosis pakan yang diberikan sebanyak 3 persen/hari dari bobot tubuh.

Dilihat dari kebiasaan makan, ikan dibagi menjadi tiga golongan, yaitu floating feeder, midle feeder dan bottom feeder. Ikan nila termasuk floating feeder, karena terbiasa makan di permukaan. Tambakan termasuk midle feeder, karena terbiasa makan di tengah perairan.

Sedangkan lobster air tawar termasuk bottom feeder, yaitu pemakan dasar. Selain bottom feeder, lobster juga fasif dalam mencari makan, dan lebih banyak dilakukan pada malam hari, atau dikenal dengan sebutan nocturnal animal. Karena sifat itu, maka pemberian pakan untuk lobster harus lebih banyak untuk malam hari.


Lobster air tawar termasuk hewan pemakan segala (omnivora). Bahan-bahan makanan dari hewani dan nabati sangat di sukainya. Lobster menyukai cacing-cacingan, seprti cacing sutera, cacing air, cacing tanah, dan plankton. Setelah berhasil dikembangbiakkan diluar habitat asalnya, ternyata lobster juga menyukai pakan buatan, seperti pelet.


Kebutuhan pakan lobster sebenarnya sangat sedikit, yaitu hanya berkisar 2-3 gram per ekor lobster dewasa perhari. Kebutuhan pakan tersebut di gunakan untuk pertumbuhan, pergantian sel-sel yang sudah rusak dan perkembangbiakkan.
Sumber:
http://prohighschool.blogspot.co.id/2013/11/makanan-yang-baik-dan-cocok-untuk.html
Kristiany M.G.E., dan Mulyanto. 2011. Materi Penyuluhan Perikanan: Budidaya Lobster Air Tawar. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/11/jenis-dan-pola-makan-lobster-air-tawar.html

MENGENAL LOBSTER AIR TAWAR

Dahulu sebelum lobster air tawar terkenal, hanya lobster air laut yang menjadi makanan lezat. Padahal, lobster air laut diperoleh dengan cara ditangkap dari alam sehingga ketersediaannya tergantung alam. Sedangkan lobster air tawar dapat dibudidayakan dengan relatif mudah dan sederhana.




Lobster air tawar merupakan udang air tawar berukuran relatif besar. Tubuhnya tertutup kulit beruas-ruas yang keras dan terbuat dari bahan kitin. Bagian tubuh terbagi menjadi dua bagian, yaitu kepala-dada (chephalothorax) dan badan-ekor (abdomen). Kepala tertutup kulit keras dengan bagian depan (rostrum) meruncing dan bergerigi.
Di kepala terdapat sepasang mata bertangkai, sepasang antena panjang, dan sepasang antena pendek. Bagian kepala terdapat lima pasang kaki. Tiga kaki, diantaranya kaki pertama, kedua, dan ketiga mengalami perubahan bentuk dan fungsi menjadi capit. Sepasang capit yang pertama besar dan kokoh yang berfungsi dalam mempertahankan diri dan untuk menangkap mangsa. Bagian belakang, yaitu perut dan ekor kulit tubuhnya beruas-ruas dengan kulit keras, dibagian ini terdapat empat pasang kaki renang. Ekornya berbentuk seperti kipas dengan lima ruas.
Pertumbuhan lobster bertambah besar melalui pergantian kulit (moulting). Pada waktu ganti kulit tersebut lobster dalam kondisi lemah sehingga saat itu sering terjadi kanibal, seperti udang yang lain.
A.    Sistematika
Phylum                         Arthropoda
Sub phylum                Crustaceae
Kelas                             Malacostraca
Ordo                              Decapoda
Family                           Parastacidae
Genus                           Cherax
Ciri-ciri Utama           
1.       Badan terdiri dari kepala dada (cephalotorax), tubuh (abdomen) dan ekor (telson)
2.       Pada ujung depan kepala dada terdapat tanduk berbentuk segitiga yang di sebut rostrum.
3.       Pada dadanya terdapat 5 pasang kaki jalan dengan pasangan kaki terdepan berbentuk capit (“chelipet”)
4.       Tubuhnya terdiri dari 6 ruas yang tersusun tumpang tindih seperti genteng rumah dengan ruas kedua berada di atas ruas pertama dan ketiga
5.       Pada tiap ruas tubuh di lengkapi dengan sepasang kaki renang (“pleopod”).
6.       Ekor berbentuk segi tiga dengan ujungnya yang runcing.
7.       Ekor tersebut di apit oleh sirip ekor yang di sebut “uropod”.
8.       Dalam keadaan normal, kulitnya keras dan pada saat ganti kulit udang ini membentuk gumpalan kapur yang di sebut gastrolith yang terletak di depan lambungnya.
B.    Habitat dan Penyebaran
Lobster air tawar yang berasal dari family Astacidae, Cambaridae, dan Parastacidae, menyebar di semua benua, kecuali. Meskipun demikian, di kedua benua tersebut pernah di temukan fosil lobster air tawar
Family Astacidae banyak hidup di perairan bagian barat Rocky Mountains di barat laut Amerika Serikat sampai Kolombia, Kanada, dan juga di Eropa. Di Indonesia, terutama di Jayawijaya (Papua), hidup beberapa spesies dari family Parastacidae antara lain Cherax monticola, Cherax lorentzi, Cherax comunis, Cherax papuana, dan Cherax wasseli.
C.    Spesifikasi Spesies.
Dalam usaha budidaya lobster air tawar, ada 3 spesies dari genus Cherax yang dapat dikembangbiakkan secara ekonomis, baik ditinjau dari penyediaan spesies udang hias air tawar maupun udang konsumsi, yakni lobster air tawar capit merah atau redclaw (Cherax qudricarinatus), yabbie (Cherax destructor), dan marron ( Cherax tenuimatus).
Balai Budidaya Air Tawar (BBAT) Sukabumi telah mulai melakukan domestikasi berbagai spesies lobster air tawar yang berasal dari habitat alam kawasan Kabupaten Wamena. Tujuan utama domestikasi ini adalah menghasilkan induk dan benih teradaptasi dan menghasilkan informasi teknik pembudidayaan yang mengarah kepada upaya pelestarian plasma nutfah asli Indonesia. Di samping itu, merupakan upaya pengembangan teknik budi daya lobster air tawar sebagai spesies baru yang mampu meningkatkan pendapatan petani ikan air tawar khususnya dan peningkatan ekspor nonmigas pada umumnya.
1.       Lobster Air Tawar Capit Merah (Redclaw)
Lobster air tawar capit merah (redclaw) merupakan salah satu spesies endemik dari kelompok udang yang pada awalnya hidup di habitat alam, seperti sungai, rawa, atau danau yang ada di kawasan Queensland, Australia.
Secara khusus, ciri-ciri morfologi Lobster air tawar capit merah adalah warna tubuhnya hijau kemerahan dengan warna dasar bagian atas capit berupa garis merah tajam, terutama pada induk jantan yang telah berumur lebih dari 7 bulan. Selain itu, memiliki duri-duri kecil yang terletak di atas seluruh permukaan capit yang dilengkapi duri berwarna putih di atas permukaan setiap segmen capit, telur berwarna kuning kemerahan, dan memiliki masa pengeraman telur 32 -35 hari dengan suhu air 20–22C.
Lobster air tawar capit merah dapat hidup dan tumbuh pada suhu 2–370 C. Meskipun demikian, suhu air optimum yang paling tepat untuk hidup dan tumbuh adalah 23-310 C. Sementara itu, toleransi terhadap kandungan oksigen di dalam air adalah 1 ppm, keasaman 6-9,5, dan amonia 1 ppm.
 
2.       Lobster Air Tawar Yabbie
Lobster air tawar yabbie merupakan salah satu spesies endemik yang menyebar luas di danau atau sungai yang terletak di wilayah tropis hingga subtropis di beberapa negara bagian Australia, seperti Melbourne, Adelaide, Alice Spring, Victoria, dan Townsvilelle. Di wilayah-wilayah tersebut umumnya jenis lobster ini menempati perairan yang kaya akan oksigen, tumbuhan, dan subtrat berlumpur atau berpasir.
Lobster air tawar yabbie memiliki toleransi yang tinggi terhadap konsentrasi oksigen terlarut sebesar 0,5 ppm dan suhu air 8-300 C. Namun, metabolime tubuh, nafsu makan, dan pertumbuhannya menjadi rendah jika dipelihara dalam wadah dengan suhu air kurang dari 160 C. Yabbie membutuhkan kisaran suhu untuk pertumbuhan optimum antara 20-250 C. biasanya yabbie menjadi induk saat berumur 6-7 bulan dengan bobot maksimum yang ditemukan di habitat alam mencapai 300-400 gram dan panjang total sekitar 30 cm.
Lobster ini merupakan jenis omnivora, walaupun memiliki kecenderungan menyukai tumbuhan, seperti daun dan ranting pohon yang jatuh ke perairan. Kebiasaan lain yang dimiliki yabbie adalah kemampuannya membuat tempat perlindungan dengan menggali lubang di dasar perairan hingga kedalaman 2 meter. Kenyataan ini tentunya bisa menjadi faktor yang mempersuliat pembudidaya.
3.       Lobster Air Tawar Spesies Indonesia
Lobster air tawar spesies Indonesia adalah spesies-spesies lobster air tawar yang hidup di habitat asli perairan Indonesia, seperti danau, rawa, atau daerah aliran sungai (DAS), terutama yang berlokasi di berbagai daerah di Propinsi Papua.
Berdasarkan berbagai penelitian dan pengkajian yang telah dilaksanakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian Pengembangan Teknologi (BPPT), Lembaga Biologi Nasional (LBN), serta laporan tahunan Dinas Perikanan Kabupaten Wamena tahun 2002, diperoleh informasi bahwa ada 12 spesies dan 1 subspesies lobster air tawar yang terdapat di perairan Papua.
Dalam upaya pelestarian sumber daya plasma nutfah habitat perairan Indonesia dan pengembangan teknik produksi budidaya lobster air tawar dalam bentuk induk benih dan induk yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, Balai Budidaya Air Tawar Sukabumi telah melakukan berbagai kegiatan perekayasaan. Kegiatan tersebut meliputi domestikasi induk lobster asli Indonesia sesuai dengan kajian desain konstruksi wadah budidaya, penanganan dan pengelolaan pakan, kualitas air, serta pengendalian penyakit.

Sabar (1975) dalam Sukmajaya dan Suharjo (2006)
Sumber:
Kristiany M.G.E., dan Mulyanto. 2011. Materi Penyuluhan Perikanan: Budidaya Lobster Air Tawar. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fdentistvschef.files.wordpress.com%2F2012%2F12%2Flobster-air-tawar.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fdentistvschef.wordpress.com%2Ftag%2Fhow-cook-lobster-yabbies%2F&docid=JSh8wMGk5Hh9NM&tbnid=5yzVdUWdRLMydM%3A&w=2256&h=1504&bih=667&biw=1366&ved=0ahUKEwiGtuqhh6HNAhUHrI8KHa8LBdAQMwgeKAAwAA&iact=mrc&uact=8
https://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fimg.webme.com%2Fpic%2Fs%2Fsewan-lat%2Fcheraxdestructorblue.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fcarabudidayalobsterairtawar.blogspot.com%2F2013%2F10%2Fjenis-jenis-lobster-air-tawar-di-dunia.html&docid=b41VC_lLb8ytAM&tbnid=ty-ncBuXVCFe6M%3A&w=400&h=213&bih=667&biw=1366&ved=0ahUKEwiGtuqhh6HNAhUHrI8KHa8LBdAQMwgfKAEwAQ&iact=mrc&uact=8
https://www.google.co.id/imgres?imgurl=http%3A%2F%2Fimg.indonetwork.co.id%2Fproducts%2Fthumbs%2F600x600%2F2011%2F03%2F04%2Fe5f5fef7e3d39570d56072d67928b4c2.jpg&imgrefurl=http%3A%2F%2Fshasi.indonetwork.co.id%2F2457890%2Fjual-lobster-air-tawar-lat-jenis-yabby-cherax-destructor.htm&docid=CGADTI24v7k4LM&tbnid=PFO7Ze0gRkAtVM%3A&w=600&h=337&bih=667&biw=1366&ved=0ahUKEwiGtuqhh6HNAhUHrI8KHa8LBdAQMwgmKAgwCA&iact=mrc&uact=8
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/11/mengenal-lobster-air-tawar.html

JENIS-JENIS MANGROVE

Diperkirakan ada sekitar 89 spesies mangrove yang tumbuh di dunia, yang terdiri dari 31 genera dan 22 famili. Tumbuhan mangrove tersebut pada umumnya hidup di hutan pantai Asia Tenggara, yaitu sekitar 74 spesies, dan hanya 11 spesies hidup di daerah Caribbean. Lebih lanjut menurut Soegiarto dan Polunin (1982) dalam Supriharyono (2000) dari jumlah ini sekitar 51% atau 38 spesies hidup di Indonesia. Jumlah tersebut belum termasuk spesies ikutan yang hidup bersama di daerah mangrove (KLH et al., 1993 dalam Supriharyono, 2000). Ada beberapa spesies tumbuhan pantai, yaitu sekitar 12-16 spesies, yang masih diragukan apakah tumbuh-tumbuhan tersebut termasuk mangrove atau tidak. Sebagai contoh, famili Rhizophoraceae mempunyai 17 genera dan sekitar 70 spesies, akan tetapi hanya empat generasi dan 17 spesies diketahui benar - benar sebagai mangrove. Demikian pula famili Combretaceae, hanya tiga genera dan lima spesies yang diketahui sebagai mangrove (Supriharyono, 2000).
Ciri-ciri mangrove dari penampakan hutan mangrove terlepas dari habitatnya yang unik adalah jenis-jenisnya relatif sedikit, akar jangkar yang melengkung dan menjulang pada Rhizophora sp, akar yang tidak teratur dan keras atau pneumatofora pada marga Avicennia sp, dan Sonneratia sp, yang mencuat vertikal seperti pensil, adaptasinya yang kuat terhadap lingkungan sehingga biji (propagul) Rhizophora berkecambah di pohon (vivipar), sehingga banyaknya lentisel  pada bagian kulit pohon (Departemen Kehutanan, 1997 dalam Noor et al., 1999)
Adapun beberapa jenis mangrove yang dikenal selama ini adalah:
a. Avicennia lanata
Nama setempat: api-api. belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dapat mencapai ketinggian hingga 8 m. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil. Kulit kayu seperti kulit ikan hiu (berwarna gelap), coklat hingga hitam. Daun : Memiliki kelenjar garam, bagian bawah daun putih kekuningan, dan ada rambut halus. Unit dan letak :  sederhana  dan berlawanan. Bentuk : elips. Ujung : memundar agak meruncing, dan ukuran 9x 5 cm. Bunga : Bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat, letak diujung atau ketiak tangkai / tandan bunga. Formasi : bulir (8-12). Daun mahkota : 4, kuning pucat – jingga tua, 4 – 5 mm. Kelopak bunga : 5 buah. 4 benang sari. Buah : Buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau–agak kekuningan. Permukaan buah berbunga halus (seperti ada tepungnya). Ukuran : sekitar 1,5 x 2,5 cm. Ekologi : Tumbuh pada dataran lumpur, tepi sungai, daerah yang kering dan toleran terhadap kadar garam yang tinggi. Diketahui (di Bali dan Lombok) berbunga pada bulan Juli–Februari dan berbuah antara bulan November hingga Maret. Penyebaran : Kalimantan, Bali, Lombok, Semenanjung, Malaysia, Singapura. Kelimpahan : Tidak diketahui. Manfaat: Kayu bakar dan bahan bangunan (Noor et al., 1999).

Gambar 1. Bunga, buah, daun & pohon Avicennia lanata
                              (Noor et al., 1999).
b.   Rhizophora apiculata
Nama setempat : Bakau minyak, bakau tandok, bakau akik, bakau puteh,   bakau kacang, bakau leutik, akik, bangka minyak, donggo akit, jangkar, abat, parai, mangi-mangi, slengkreng, tinjang wako. Deskripsi umum : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadang–kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu–abu tua dan berubah-ubah. Daun berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah kemerahan dibagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit   dan letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk : elips menyempit dan meruncing. Ukuran 7-19 x 3,5-8 cm. Bunga : Biseksual, kepala bunga kekuningan yang terletak pada gagang berukuran < 14 mm. Letak : di ketiak daun. Formasi: kelompok (2 bunga per kelompok). Daun mahkota : 4; kuning putih, tidak ada rambut, panjangnya 9-11 mm. Kelopak bunga : 4; kuning kecoklatan, melengkung, Benang sari : 11-12; tak bertangkai. Buah : Buah kasar berbentuk bulat memanjang hingga seperti buah pir , warna coklat, panjang 2,3-5 cm, berisi satu biji fertil. Hipokotil Silindris, berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm. Ekologi : Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi bisa mencapai 90% dari vegetasi yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka karena mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat sepanjang tahun.
Penyebaran : Srilanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik. Kelimpahan : Melimpah di Indonesia, tersebar jarang di Australia. Manfaat : Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang. Kulit kayu berisi hingga 30% tannin (per sen berat kering). Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar dengan diberati batu. Di Jawa acap kali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan (Noor et al., 1999).
Gambar 2. Bunga, buah, daun, dan pohon Rhizophora apiculata
                       (Noor et al., 1999).
c.    Avicennia marina (Forsk.) Vierh.
Nama setempat api-api putih, api-api abang, sia-sia putih, pejapi, nyapi, hajusia. Deskripsi Umum belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, ketinggian mencapai 30 m. memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (atau berbentuk asparagus), akar nafas tegak dengan sejumlah lentisel. Kulit kayu halus dengan burik-burik hijau-abu dan terkelupas dalam bagian-bagian kecil. Ranting muda dan tangkai daun berwarna kuning tidak berbulu. Bagian atas permukaan daun ditutupi bintik-bintik kelenjar berbentuk cekung. Bagian bawah daun putih-abu-abu muda. Unit & letaknya sederhana dan berlawanan.memiliki bentuk daun elips, bulat memanjang, bulat telur terbalik. Ujungnya meruncing hingga membundar, dengan ukuran 9 x 4,5 cm. Bunga seperti trisula dengan bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat, nektar banyak. Letaknya di ujung atau di ketiak/tandan bunga. Daun mahkota ada 4 dengan warna kuning pucat jingga tua berukuran 5-6 mm. Kelopak bunga berjumlah 5 lalu  benang sari ada 4. Merupakan tumbuhan pionir pada lahan pantai yang terlindung, memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini juga dapat bergerombol membentuk suatu kelompok pada habitat tertentu. Berbuah sepanjang tahun, kadang-kadang bersifat vivipar. Buah membuka pada saat matan
g, mempunyai lapisan dorsal. Buah juga dapat membuka karena dimakan semut atau setelah penyerapan air. Buah dapat dimakan. Kayu dapat menghasilkan bahan kertas berkualitas tinggi. Daun digunakan sebagai makanan ternak.

                Gambar 3.  Buah, bunga, daun & pohon Avicennia marina
                        (Noor et al., 1999).
d.    Acrostichum aureum
Nama setempat mangrove varen, paku cai, hata diuk, paku laut. Batang menebal di bagian pangkal, cokelat tua dengan peruratan yang halus, pucat, tipis. Ujung daun fertil berwarna cokelat seperti karat, duri banyak berwarna hitam. Tumbuh di pematang tambak, sepanjang kali dan sungai payau dan saluran. Terdapat di seluruh Indonesia. Daun tua dapat digunakan sebagai obat, alas ternak dan dapat dimakan di daerah Timor dan Sulawesi Utara (Noor et al., 1999).

Gambar 4. Daun, ujung pihak daun, spora dan pohon Acrostichum
                aureum (Noor et al., 1999).

Sumber:
Basuki. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/11/jenis-jenis-mangrove.html

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE

Ekosistem mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya pesisir terutama pulau-pulau kecil. Mangrove berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dan perubahan lingkungan utama dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota baru. Selain itu, ekosistem ini juga berfungsi dalam mengolah limbah melalui penyerapan kelebihan nitrat dan phospat sehingga dapat mencegah pencemaran dan kontaminasi di perairan sekitarnya.
Mangrove atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken, 1988). Mangrove adalah salah satu di antara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka (Odum, 1993). Walaupun tidak sama dengan istilah mangrove banyak orang atau penduduk awam menyebut mangrove
Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana (2005) terdiri atas:
1.    satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove,
2.    spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga dapat hidup di habitat non-mangrove
3.    biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain-lain) baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali-kali, biasa ditemukan kebetulan maupun khusus hidup di habitat mangrove,
4.    proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada di daerah bervegetasi maupun diluarnya, dan
5.    daratan terbuka/hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.
Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda baik aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Besarnya peranan ekosistem mangrove bagi kehidupan dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan, baik yang hidup di perairan, di atas lahan maupun di tajuk-tajuk pohon mangrove serta ketergantungan manusia terhadap ekosistem mangrove tersebut.
Bengen (2000) menyatakan bahwa ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain :
1.    sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin,
2.    sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota
3.    sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus),
4.    sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar,
5.    pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya,
6.    tempat pariwisata.
Secara fisik ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung yang mempengaruhi pengaliran massa air di dalam tanah. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan ekosistem rnangrove yang relatif lebih tenang dan terlindung dan sangat subur juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikro organisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing, mysidaceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewanhewan tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia.
Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang limbah di sekitar perairan ekosistem hutan mangrove yang tidak jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem mangrove (Lazardi, et al., 2000).
Pemanfaatan sumberdaya ekosistem mangrove secara ideal seharusnya mempertimbangkan kebutuhan masyarakat narnun tidak menganggu keberadaan dari sumberdaya tersebut. Dalam upaya ini Departemen Kehutanan telah memperkenalkan suatu pola pemanfaatan yang disebut "silvofishery" dengan bentuk tumpangsari. Pola ini adalah kombinasi antara tambak/empang dengan tanaman mangrove. Pola ini dianggap paling cocok untuk pemanfaatan ekosistem mangrove saat ini. Dengan pola ini diharapkan kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan sedangkan ekosistem mangrove masih tetap terjamin kelestariannya (Departemen Kehutanan, 1993)
Dasar pemikiran penetapan kebijakan pengelolaan mangrove adalah ekosistem mangrove yang berfungsi sebagai sumber plasma nutfah, tempat pemijahan, pengasuhan dan tempat larva biota perairan serta sekaligus juga berfungsi untuk melindungi kawasan pesisir dari kerusakan dan pencemaran, telah mengalami tekanan yang luar biasa sehingga mengalami degradasi yang sistematis; bahwa diperlukan langkah lanjut dan upaya pengelolaan ekosistem mangrove yang berkelanjutan untuk menjamin kelestarian ekosistem mangrove guna mendukung pelestarian lingkungan pesisir, kegiatan perikanan yang berkelanjutan, perlindungan pantai, wisata bahari, dan keperluan ekonomi lainnya.
A.   Peraturan Mengenai Pengelolaan Hutan Mangrove
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan pantai, diantaranya adalah :
1.    UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
2.    UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria
3.    UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan
4.    UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan
5.    UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan
6.    UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
7.    UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan
8.    UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
9.    UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
10.  UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
11.  UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
12.  U No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
13.  UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
14.  UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan
B.   Penegakan Hukum
Salah satu hal yang sangat penting dalam pengelolaan pantai adalah penegakkan hokum (law enforcement). Peraturan-perundangan telah banyak diterbitkan. Tujuannya agar pengelolaan pantai dapat dilakukan secara terpadu. Namun pada implementasi, sering peraturan dilanggar. Pelanggaran tidak diikuti dengan sanksi maupun hukuman yang tegas, walaupun sudah dinyatakan eksplisit dalam aturan. Pengawasan oleh pihak berwenang (lebih dominan dari Pemerintah) tidak dilakukan.
Penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara–cara dan upaya antara lain dapat berupa:
1.    Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
2.    Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
3.    Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang berlaku.
4.    Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.
5.    Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
6.    Implementasi penegakan hukum dilakukan dengan cara bertahap
Dalam rangka pelaksanaan dan pengawasan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut agar benar-benar terlaksana sebagai wujud law enforcement, bisa dilakukan modifikasi disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah, misalnya :
1.    Identifikasi hukum adat serta revitalisasi lembaga adat (Nagari) dan lokal yang berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.
2.    Peningkatan kesadaran, kemampuan, dan kepedulian masyarakat pesisir terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan produk hukum pengelolaan pesisir.
3.    Peningkatan pengawasan, pengamanan dan penegakan hukum di pesisir
C.   Finansial
Dalam konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation) sumberdaya alam, nilai sumberdaya mangrove ditentukan oleh fungsi dari sumberdaya itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai : stabilitas garis pantai, menahan habitat keanekaragaman, sedimen, perlindungan dan produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi atau wisata, memancing dan produk-produk hutan. Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokan menjadi dua yaitu nilai penggunaan (use value) dan nilai intrinsik (non-use value) selanjutnya dapat diuraikan bahwa nilai penggunaan (use value) dapat dibagi lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct use), nilai penggunaan tidak langsung (indirect use) dan nilai pilihan (option value).
1.    Pengembalian Biaya dan Kebijakan Denda
Teknik penilaian manfaat, didasarkan pada kesediaan konsumen membayar perbaikan atau kesediaan menerima kompensasi dengan adanya kemunduran kualitas lingkungan dalam sistem alami serta kualitas lingkungan sekitar. Manfaat dari suatu barang atau jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan penduduk untuk membayarnya (willingness to pay (WTP)). Untuk menilai lingkungan harus dilihat fungsi kerusakan marginal yang menunjukan perubahan lingkungan. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas karena diadakan perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak dampaknya terhadap masyarakat sekitar, baik dampak fisik, dampak degradasi lingkungan, kualitas estetika.
Apabila ingin dilihat WTP (willingness to pay) dari masyarakat maka akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand) gabungan antara beberapa permintaan merupakan total WTP.
2.    Penilaian Investasi
Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti untuk pembuatan bahan pengawet jaring dan untuk keperluan lainnya oleh nelayan secara berlebihan dan tidak teratur serta pengambilan oleh masyarakat tertentu untuk dijual yang dilakukan secara berlebihan, telah berdampak pada kondisi hutan mangrove yang semakin menurun kualitasnya dan mengecil arealnya (rusak) yang berdampak menurunnya kualitas sumberdaya pesisir secara umum termasuk habitatnya.
D.   Peran Institusi dan Pelaku dalam Pengelolaan Mangrove
Otonomi pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya alam yang membawa konsekuensi penyerahan seluruh tanggung jawab kepada Pemerintah Kabupaten/Kota termasuk pendanaan, personalia, kelembagaan, peraturan daerah dan prioritas kegiatan sesuai dengan kondisi lokal akan menjadi basis dalam pengelolaan Kawasan Pantai dan sumber daya alam.
Penerapan Prinsip Keterpaduan Dalam Pengelolaan :
a.    Keterpaduan antar sektor;
b.    Keterpaduan antar level pemerintahan;
c.    Keterpaduan ekosistem darat dan laut;
d.    Keterpaduan sains dan manajemen;
e.    Keterpaduan antar daerah/ negara.
1.    Peran Pemerintah Pusat
Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Dalam hal ini Kewenangan bidang lain yang dimaksud, meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional, dan pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 25 Tahun 2000 Bab II, Pasal 2 point 13 Bidang Penataan Ruang diketahui :
a.    Penetapan tata ruang nasional berdasarkan tata ruang Kabupaten/Kota dan Propinsi.
b.    Penetapan kriteria penataan perwilayahan ekosistem daerah tangkapan air pada daerah aliran sungai.
c.    Pengaturan tata ruang perairan di luar 12 (dua belas) mil.
d.    Fasilitasi kerjasama penataan ruang lintas Propinsi.
Kewenangan menteri dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir lintas provinsi dan Kawasan Strategis Nasional Tertentu
b.    HP-3 di Kawasan Strategis Nasional Tertentu
c.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
d.    Ijin pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang menimbulkan dampak besar terhadap perubahan lingkungan
e.    Perubahan status Zona inti pada Kawasan Konservasi Perairan nasional
f.     Melakukan pendampingan terhadap Pemerintah Daerah dalam merumuskan dan melaksanakan Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
g.    Membentuk unit pelaksana teknis pengelola Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan kebutuhan
h.    Mengkoordinasi pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat nasional
i.      Jenis kegiatan yang dikoordinasikan sebagaimana dimaksud diatas meliputi:
j.      Penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap sektor sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
k.    Perencanaan sektor, daerah, dan dunia usaha yang bersifat lintas provinsi dan kawasan tertentu;
l.      Program akreditasi nasional;
m.   Rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap instansi Pemerintah; serta
n.    Penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang bersifat lintas provinsi dan Kawasan tertentu yang bertujuan strategis.
2.    Peran Pemerintah Propinsi
Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom sesuai dalam Pasal 9 Ayat 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya. Kewenangan bidang tertentu adalah perencanaan dan pengendalian pembangunan secara makro, pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah Propinsi, pengelolaan pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan budaya/ pariwisata, penanganan penyakit menular dan hama tanaman dan perencanaan tata ruang Propinsi.
Kriteria kewenangan daerah Propinsi berdasarkan skala pelayanan, penyerasian, kepentingan letak geografis dan potensi pemanfaatan sumber daya air sebagai berikut :
a)            Skala Pelayanan Lintas Kabupaten/ Kota
Bila suatu tugas menyangkut penyediaan pelayanan umum, pengaturan dan pembangunan yang bersifat lintas Kabupaten, maka kewenangan-kewenangan untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas tersebut dipertimbangkan untuk diletakkan pada daerah Propinsi sejauh mana tidak dapat diselenggarakan dengan cara kerjasama antar Kabupaten/ Kota.
b)            Penyerasian Kepentingan Antar Kabupaten/ Kota
Bilamana suatu tugas yang dilakukan oleh satu Kabupaten/ Kota tertentu dapat merugikan Kabupaten/ Kota lainnya, maka kewenangan untuk melaksanakan tugas tersebut diletakkan pada propinsi. Dalam merumuskan kewenangan pemerintah di samping berdasarkan kriteria sebagaimana telah dikemukan diatas juga dilakukan dengan pendekatan fungsi umum manajemen pemerintahan yang lazim telah digunakan diberbagai negara yang meliputi fungsi-fungsi kebijakan, perencanaan/ alokasi, pendanaan, penerimaan, perijinan, pengelolaan, pemerintahan, pemantauan/ pengawasan, dan kerjasama/ koordinasi
c)            Letak Geografis
Bilamana secara fisik suatu sistem berada dalam lebih dari 2 Kabupaten/ Kota, maka kewenangan untuk melaksanakan pengelolaan aset tersebut diletakkan pada Daerah Propinsi.
d)            Potensi pemanfaatan
Bilamana sumber daya air berpotensi dapat dimanfaatkan lebih dari 2 kabupaten/ kota, maka kewenangan untuk melaksanakan fungsi tersebut dapat diletakkan pada daerah propinsi.
Kewenangan gubernur dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir sampai dengan 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan, dan Perairan Pesisir lintas kabupaten/kota.
b.    Mengkoordinasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat provinsi
c.    Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap Dinas otonom atau badan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu Provinsi;
d.    Mengatur perencanaan tiap-tiap instansi daerah, antar Kabupaten/kota, dan dunia usaha;
e.    Mengatur program akreditasi skala provinsi;
f.     Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan instansi vertikal di daerah, dinas otonom, atau badan daerah;
g.    Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di provinsi
3.    Peran Pemerintah Kabupaten/ Kota
Berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang mencakup kewenangan pemerintah bidang layanan umum merupakan kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota Kewenangan yang wajib dilaksanakan berupa pengadaan sarana/prasarana umum yang menyangkut kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota, ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut (Pasal 4 PP RI No. 25 Tahun 2000) :
a.    Kabupaten/ Kota yang tidak atau belum mampu melaksanakan salah satu atau beberapa kewenangan dapat melaksanakan kewenangan tersebut melalui kerja sama antar Kabupaten/ Kota, kerja sama antar-Kabupaten/Kota dengan Propinsi, atau menyerahkan kewenangan tersebut kepada Propinsi;
b.    Pelaksanaan kewenangan melalui kerja sama atau penyerahan suatu kewenangan kepada Propinsi harus didasarkan pada Keputusan Kepala Daerah Kabupaten/ Kota dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota;
c.    Bupati/ Walikota wajib menyampaikan keputusan mengenai penyerahan kewenangan kepada Propinsi sebagaimana dimaksud pada huruf b kepada Gubernur dan Presiden dengan tembusan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah; Presiden setelah memperoleh masukan dari Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dapat menyetujui atau tidak menyetujui penyerahan kewenangan tersebut;
d.    Dalam hal Presiden tidak memberikan persetujuannya, kewenangan tersebut harus dilaksanakan oleh Kabupaten/ Kota;
e.    Apabila Presiden memberikan persetujuannya, pelaksanaan kewenangan tersebut diserahkan kepada Propinsi;
f.     Apabila dalam jangka waktu satu bulan Presiden tidak memberikan tanggapan, maka penyerahan kewenangan tersebut dianggap disetujui;
g.    Sebagai akibat dari penyerahan tersebut, Propinsi sebagai Daerah Otonom harus melaksanakan kewenangan dimaksud dengan pembiayaan yang dialokasikan dari dana perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
h.    Apabila Propinsi tidak mampu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf h, maka Propinsi menyerahkannya kepada Pemerintah dengan mekanisme yang sama sebagaimana tercantum pada huruf c sampai dengan huruf h; dan
i.      Apabila Kabupaten/ Kota sudah menyatakan kemampuannya menangani kewenangan tersebut, Propinsi atau Pemerintah wajib mengembalikannya kepada Kabupaten/Kota tanpa persetujuan Presiden.
Kewenangan Bupati/ Walikota dalam pengelolaan wilayah pesisir menurut UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain:
a.    Memberikan HP-3 di wilayah Perairan Pesisir 1/3 (satu pertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
b.    Mengatur penilaian setiap usulan rencana kegiatan tiap-tiap pemangku kepentingan sesuai dengan perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terpadu;
c.    Mengatur perencanaan antar instansi, dunia usaha, dan masyarakat;
d.    Mengatur program akreditasi skala kabupaten/kota;
e.    Mengatur rekomendasi izin kegiatan sesuai dengan kewenangan tiap-tiap dinas otonom atau badan daerah; serta
f.     Mengatur penyediaan data dan informasi bagi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil skala kabupaten/ kota.
4.    Peran Masyarakat
Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar mangrove merupakan masalah prinsip dalam usaha menyelamatkan, mangrove (Sukardjo, 1989). Bengen (2001), menyebutkan pelestarian hutan bahwa mangrove merupakan suatu usaha yang sangat kompleks untuk di laksanakan, sifat karena kegiatan tersebut membutuhkan akomodatif terhadap segenap pihak terkait baik yang berada di sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Pada dasarnya kegiatan ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan dari berbagai kepentingan. Akan tetapi, sifat akomodatif ini akan lebih dirasakan manfaatnya bilamana keberpihakan kepada institusi yang sangat rentan terhadap sumberdaya mangrove, dalam hal ini masyarakat diberikan porsi yang lebih besar.
Dalam upaya pemberdayaan Masyarakat, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mewujudkan, menumbuhkan, dan meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab dalam (UU No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil):
a.    Pengambilan keputusan;
b.    Pelaksanaan pengelolaan;
c.    Kemitraan antara masyarakat, dunia usaha, dan Pemerintah/ Pemerintah Daerah;
d.    Pengembangan dan penerapan kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup;
e.    Pengembangan dan penerapan upaya preventif dan proaktif untuk mencegah penurunan daya dukung dan daya tampung wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f.     Pemanfaatan dan pengembangan teknologi yang ramah lingkungan;
g.    Penyediaan dan penyebarluasan informasi lingkungan; serta
h.    Pemberian penghargaan kepada orang yang berjasa di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Bentuk organisasi pemberdayaan masyarakat pesisir yang dapat dikembangkan antara lain:
a.    PEMP (Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir)
b.    COFISH (Coastal Fisheries)
c.    Program Mitra Bahari (Sea Grant Program)
d.    Siswasmas (Sistem Pengawasan Masyarakat)
Peran masyarakat dapat ditingkatkan melalui pemupukan jiwa bahari, pendidikan dan pelatihan kelautan dan organisasi dan kelembagaan kelautan.  Program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah adalah dalam bentuk penetapan rencana tindak antara lain:
a.    Identifikasi dan klasifikasi lembaga keswadayaan masyarakat
b.    Analisis jaringan kemitraan pemberdayaan antar lembaga keswadayaan masyarakat maupun dengan Pemerintah, swasta, perguruan tinggi dan lembaga keagamaan
c.    Analisis kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka demokratisasi pengelolaan pembangunan
d.    Penyusunan/ penyempurnaan kebijakan dan atau peraturan daerah dalam kerangka penguatan kemitraan, partisipasi, dan demokratisasi Manajemen Kawasan Pantai
e.    Pengadaan manual kemitraan dengan lembaga keswadayaan masyarakat dari daerah setempat maupun dari luar daerah atau luar negeri
f.     Penguatan kemitraan dengan lembaga keswadayaan masyarakat dalam Manajemen Kawasan Pantai
g.    Pembentukan/pengembangan Forum sebagai wahana/jaringan dialog/kemitraan antar berbagai komponen pelaku pembangunan.
Sumber:
Basuki. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.

http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/11/pengelolaan-ekosistem-mangrove.html