Jumat, 22 Juni 2018

PEMBESARAN IKAN BANDENG

 1. Pemilihan Lokasi                                                 
       Pemilihan lokasi merupakan hal yang paling vital dalam pembuatan suatu tambak.  Kesalahan dalam menentukan lokasi tambak akan mengakibatkan kerugian tidak hanya biaya dan tenaga tetapi juga kerugian waktu.  Contoh kasus akibat kesalahan pemilihan lokasi, yaitu tidak berproduksinya suatu tambak setelah dibangun karena tidak dapat diairi, sulit mendapatkan sarana produksi atau sulit mendapatkan tenaga kerja.  Lokasi pertambakan hendaknya harus baik dalam pemilihan letak lokasinya yaitu dalam pemilihan lokasinya  terletak di tepi jalan dan mudah dijangkau serta tidak terlalu jauh dari pemukiman penduduk.  Hal ini didukung oleh pendapat Ditjenkan (1994), bahwa pemilihan lokasi untuk pembesaran bandeng haruslah memenuhi syarat-syarat berikut ini , yaitu :
A.    Segi Sosial Ekonomi
1. Dekat dengan jalan umum, dimaksudkan untuk memudahkan dalam transportasinya sehinga dapat menghemat ongkos produksi.
2. Dekat dengan rumah, agar mudah dalam pengawasannya.
3. Daerah pengembangan budidaya ikan, bertujuan untuk memudahkan dalam    memasarkan hasil.
4. Keamanan terjamin, bebas dari gangguan baik gangguan dari manusia jahil atau gangguan dari hewan-hewan pengganggu.
5. Perkembangan kota dan industri, lokasi pertambakan tidak terkena daerah pemekaran kota dan bebas dari limbah industri.
6. Mudah mendapatkan tenaga kerja, tenaga haruslah terampil dalam mengurus ikan dan diharapakan yang menguasai teknik perikanan.
  1. Segi Teknik
1.      Sumber Air
       Sumber air dalam kegiatan pembesaran ini  harus jelas karena sumber air menjadi bagian yang vital.   Penggunaan petak tandon dalam kegiatan pembesaran ini sangat diperlukan sebagai wadah penyuplaian air hujan.
2.  Penyediaan Nener
       Benih bandeng dalam setiap pertumbuhannya mempunyai ukuran yang berbeda.  Hal inilah yang membuat para pengumpul/pedagang memberi nama pada setaip ukuran benih untuk mempermudah penjualannya ke konsumen.  Berikut nama-nama benih beserta ukurannya menurut Ismail et al.,(1998), yaitu :
a.       Telur : berdiameter 1,10 – 2,25 mm
b.      Larva             : telur yang baru menetas sampai berumur 30 hari.
c.       Nener            : benih dengan ukuran 1 – 1,5 cm.
d.      Se asem        : benih dengan ukuran 2 – 3 cm.
e.       Segilang        : benih dengan ukuran 4 – 5 cm.
f.       Sogok            : benih dengan ukuran 5 – 7,5 cm.
g.    Fingerling  : benih dengan ukuran 12 - 13 cm, sering disebut juga   gelondongan muda atau yuwana.
       Nener yang akan digunakan dalam setiap kegiatan budidaya menurut Ditjenkan (1991), merupakan nener yang sehat dan mempunyai kiteria, sebagai berikut :
a.    Mempunyai kebiasaan berenang bergerombol menuju satu arah mengikuti arah jarum jam atau sebaliknya.
b.    Memiliki daya renang yang lebih lincah/agresif.  Gerakan lamban atau tidak teratur menandakan bahwa nener tersebut kurang sehat.
c.    Cepat mengadakan reaksi apabila ada kegiatan pada wadah pengangkutannya. Reaksi yang lamban menandakan nener kurang sehat.  Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi pengangkutan yang terlalu lama atau kurang tersedianya pakan.
3.  Persiapan Pembesaran
Pembagian Petak Tambak
       Bandeng dalam pertumbuhannya mempunyai tahapan-tahapan, dimana tahapan tersebut dibagi dalam beberapa petakan yang berbeda, yaitu :
  1. Petak Pendederan (nursery pond)
Luas petakan untuk pendederan adalah 600 m2 dengan bentuk segi panjang dan berdinding beton.  Petak ini berfungsi untuk membesarkan atau merawat nener selama 30 hari (Hadie dan Supriatna, 2000).  Pemeliharaan selama di petak pendederan, nener mendapatkan makanan dari klekap yang tumbuh dipetak tersebut dan salah satu proses penumbuhan pakan alami yang sangat vital adalah pengeringan.  Pengeringan tanah merupakan kunci keberhasilan dalam penumbuhan pakan alami atau klekap, apabila tanah sudah terlihat retak-retak atau saat kita berjalan di atas tanah tersebut, tanah akan turun 2 cm maka pengeringan sudah dianggap cukup.  Selanjutnya adalah pengisian air secara bertahap dengan kedalaman air 10 cm yang dilanjutkan pemupukan dengan menggunakan pupuk anorganik, yaitu : urea sebanyak 0,5 g/m2 dan NPK 20 g/m2. Setelah pertumbuhan klekap dianggap cukup pengisian air berikutnya dinaikkan menjadi 40 cm.  Padat penebaran nener pada petak pendederan ini, yaitu              50 ekor/m2.  Selama waktu pemeliharaan 30 hari, nener telah tumbuh dan panjangnya mencapai ± 5 – 8 cm, berat 1,85 g/ekor dan siap ditebarkan ke dalam petak penggelondongan (buyaran).  Kolam beton yang digunakan untuk pendederan nener seperti ditunjukkan pada Gambar 6.
               
  1. Petak Penggelondongan (transition/fingerling pond)
Berbeda dengan petak pendederan maka petak penggelondongan ini lebih luas dan lebih dalam.  Luas petak yang digunakan yaitu 1.000 m2 dengan ketingian air 70 cm.  Petak penggelondongan ini menurut Hadie dan Supriatna (2000), fungsinya adalah sebagai tempat membesarkan nener hasil dari petak pendederan sampai tumbuh menjadi gelondongan dengan ukuran 16 cm yang dicapai selama waktu pemeliharaan 30 hari.  Padat penebaran nener pada petak ini lebih kecil dari petak pendederan, yaitu 5 ekor/ m2.  Nener pun mulai diberikan pakan buatan yang sesuai dengan bukaan mulutnya, adapun pakan yang digunakan untuk nener dalam penggelondongan ini adalah  dengan ukuran diameter pellet 3,3 mm.  Proses pemindahan gelondongan dilakukan dengan cara menjaring ikan ke salah satu sudut kolam menggunakan waring, kemudian gelondongan muda ini dimasukkan ke dalam hapa lalu dihitung jumlahnya.  Selanjutnya di lakukan pengangkutan dengan menggunakan kantong plastik yang telah diisi air.  Tahap berikutnya adalah penebaran gelondongan ke dalam petak pembesaran (rearing pond) melalui proses aklimatisasi.  Gambar 7 menunjukkan proses pemindahan nener dengan cara menjaring nener ke sudut kolam dan penghitungan jumlah nener yang akan ditebar dan Gambar 8 menunjukkan petak yang digunakan untuk penggelondongan.








c.  Petak Pembesaran (rearing pond)
Luas petakan yang digunakan 2.000 m2 dengan padat tebar 5 ekor/m2 sehingga jumlah gelondongan yang tebar sebanyak 10.000 ekor.  Hal ini sesuai dengan pendapat Ahmad dan Yakob (1998), bahwa luas petakan sebaiknya tidak lebih dari 0,5 ha dan berbentuk empat persegi panjang atau bujur sangkar. Bentuk empat persegi panjang merupakan bentuk ideal karena memudahkan pada saat menggerakkan alat panen (Idel dan Wibowo, 1996). Petak pembesaran ini fungsinya hampir sama dengan fungsi petak penggelondongan dan menurut Hadie dan Supriatna (2000), petak pembesaran merupakan tempat terakhir pemeliharaan ikan untuk menjadi ukuran konsumsi.  Pakan yang diberikan pakan untuk nener di petak pembesaran ini pakannya berupa pakan buatan sama seperti pakan yang digunakan  pada nener di petak penggelondongan.
Persiapan Tambak
       Sebelum dilakukan kegiatan pemeliharaan, tambak yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu.  Persiapan tambak dilakukan untuk membuang sisa bahan beracun dan bibit penyakit.  Kegiatan selama proses persiapan tambak ini antara lain, yaitu : pengeringan atau pengurasan tambak, perbaikan pematang, pengapuran dan pemupukan serta pengisian air yang dilakukan secara bertahap.










      Air diisi secara bertahap dengan tujuan agar kotoran yang terbawa masuk ke dalam tambak bisa diendapkan terlebih dahulu dan untuk menstabilkan suhu air di dalam tambak.  Sehingga saat nener dimasukkan suhu air tambak sudah stabil.  Waktu yang biasanya dibutuhkan dalam mempersiapkan tambak yaitu selama kurang lebih 14 hari.

Penebaran
      Penebaran gelondongan dilakukan pada pagi hari saat suhu masih rendah untuk menghindari agar ikan tidak mengalami stress dan dapat
menekan tingkat mortalitas. Suhu air tambak pada saat penebaran adalah 27 0C dengan nilai pH 6,8 dan salinitasnya 10 ppt. Hal yang harus diperhatikan sebelum penebaran adalah kesehatan dan vitalitasnya.  Penebaran gelondongan ini melalui proses aklimatisasi (Ditjenkan, 1994) yang meliputi suhu, salinitas dan pH.  Ukuran gelondongan pada saat ditebar yaitu 40 g/ekor dan panjangnya 16 cm dengan jumlah penebaran 10.000 ekor.  Aklimatisasi suhu dilakukan dengan cara mengapungkan kantong plastik dipermukaan air selama kurang lebih 15 menit atau sampai permukaan dalam plastik mengembun, sedangkan aklimatisasi terhadap peubah lingkungan dilakukan dengan memasukkan air sedikit demi sedikit sampai ikan keluar dari kantong plastik dengan sendirinya .   
       Selain waktu dan cara penebaran, hal lain yang harus diperhatikan adalah padat penebaran.  Padat penebaran harus disesuaikan dengan daya dukung lahan (carrying capacity).  Sebelum penebaran jumlah gelondongan yang akan ditebar dihitung jumlahnya.  Padat tebar gelondongan pada petak pembesaran ini adalah 5 ekor/m2. Padat penebaran ini sesuai dengan pendapat William et al., (1987) dalam Mayunar (2002), bahwa dengan padat penebaran tinggi akan meningkatkan resiko kematian dan memperlambat pertumbuhan bobot individu.  Selain itu, akan terjadi kompetisi terhadap kebutuhan makanan, ruang gerak, dan kondisi lingkungan.
Pakan
       Pakan berfungsi sebagai sumber energi bagi kehidupan, pertumbuhan, dan reproduksi ikan.  Melalui proses metabolisme pakan akan menjadi energi bagi ikan untuk melakukan aktivitasnya.  Pemberian pakan haruslah dapat dikonsumsi ikan secara utuh sehingga pakan tidak ada yang terbuang.  Berikut ini akan diuraikan mengenai pakan yang diberikan selama pemeliharaan pembesaran bandeng, yaitu :
a).   Penambahan Suplemen
       Makanan tambahan (suplemen) yang lebih dikenal dengan istilah probiotik menurut Fuller (1987) dalam Irianto (2003), berupa sel-sel mikroba hidup yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan inang yang mengkonsumsinya melalui penyeimbangan flora mikroba intestinalnya.  Pemberian suplemen atau feed additive ke dalam pakan ikan sebagai mediumnya mempunyai manfaat, antara lain : meningkatkan dan menyehatkan fungsi pencernaan sehingga penyerapan nutrisi lebih maksimal, dapat meningkatkan immunitas ikan terhadap pathogen, mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan nafsu makan ikan. 
       Suplemen yang digunakan selama pemeliharaan yaitu suplemen yang mengandung mikrobia pencernaan, herba obat terpilih, nutrisi esensial, vitamin, dan mineral yang berfungsi dalam mempercepat pertumbuhan dan perkembangan ikan.  Prinsip kerjanya sendiri menurut Feliatra et al., (2004), adalah pemanfaatan kemampuan mikroorganisme dalam memecah atau menguraikan rantai panjang karbohidrat, protein dan lemak yang menyusun pakan yang diberikan.  Kemampuan ini  diperoleh karena adanya enzim-enzim khusus yang dimiliki mikroba untuk memecah ikatan tersebut.  Enzim tersebut biasanya tidak dimiliki oleh ikan dan makhluk air lainnya.  Kalaupun ada kualitas dan kuantitasnya sangatlah terbatas.  Pemecahan molekul-molekul kompleks ini menjadi molekul sederhana jelas akan mempermudah pencernaan lanjutan dan penyerapan oleh saluran pencernaan ikan.  Penambahan suplemen ini dimaksudkan sebagai pembanding antara bandeng yang diberi suplemen (dengan perlakuan) dan bandeng yang tidak diberi suplemen (tanpa perlakuan).  
       Suplemen yang diberikan mulai dilakukan sejak penebaran nener hingga menjelang panen, dengan cara mencampurkannya ke dalam pakan ikan (pellet). Suplemen yang digunakan berbentuk cairan dan sebelum diberikan pakan dihitung terlebih dahulu jumlahnya.  Dosis pemberian suplemen untuk 1 kg pakan sebanyak  20 ml dan diberikan pada saat pemberian pakan terbanyak, yaitu pada siang hari. Penggunaan suplemen ini sangat disarankan pada kolam/tambak dengan kepadatan tinggi. 
b).   Jenis Pakan
a.   Pakan Buatan.
          Pakan buatan yang diberikan adalah jenis pakan pellet terapung.  ukuran diameter pelletnya 3,3 mm.  Komposisi nutrisi pakannya ialah sebagai berikut : protein 19 – 22 % ;  kadar air (max) 10 % ;  lemak (min) 5 % ;  serat kasar (max) 8 % dan kadar abu (max) 15 %. Bentuk pellet yang mudah hancur, tidak cepat tenggelam, mempunyai aroma yang merangsang nafsu makan dan tidak berbau tengik merupakan ciri pakan yang disukai ikan menurut Ahmad et al., (1999).  Pemberian pakan pellet disebar pada satu tempat untuk mempermudah dalam pengontrollan pakannya.  Selanjutnya ikan akan memakan makanannya melalui proses metabolisme dan dicerna.  Semua pakan yang dicerna akan diserap oleh tubuh.  Adanya penyerapan energi ini akan mengubah komposisi tubuh ikan yang dapat menunjukkan adanya pertumbuhan.  Sedangkan pakan yang tidak termakan atau sisa dari proses metabolisme akan dikeluarkan melaui insang dan ginjal dalam bentuk ammonia, urine, dan bahan buangan lainnya.
Pemberian pakan yang tidak tepat baik dari kualitas dan kuantitasnya akan menumpuk di dasar tambak.  Hal ini akan mengakibatkan pembusukan bahan organik di dasar tambak dan akibatnya tambak tercemar, sampai pada batas waktu tertentu daya dukung tambak semakin berkurang, pada akhirnya mengakibatkan timbulnya gas beracun dan ini akan memicu terganggunya kehidupan ikan bahkan dapat mengakibatkan kematian massal
c).  Frekuensi Pakan
       Pakan buatan dalam budidaya intensif sangat diperlukan karena pakan ini menjadi pakan utama bagi bandeng dan membantu proses pertumbuhannya. Peningkatan pakan yang dikonsumsi ikan selalu diikuti secara proposional dengan peningkatan laju metabolisme harian sehingga berakibat terjadinya peningkatan pertumbuhan ikan. Pemberian pakan sebanyak 5 % diberikan pada 2 minggu pertama sedangkan untuk   6 minggu berikutnya pakan yang diberikan sebanyak 3 % dari biomassa ikan, penentuan jumlah pakan ini juga selalu diikuti dengan monitoring biomassa ikan setiap satu minggu sekali.
       Frekuensi pemberian pakan tiga kali dalam sehari, yaitu pagi hari pukul 08.00, siang pukul 12.00 dan sore pukul 16.00 WIB.  Aktivitas pemberian pakan semuanya dilakukan pada siang hari, seperti yang dianjurkan oleh Ditjenkan (1993), dalam pendapatnya bahwa gelondongan bandeng lebih banyak makan pada siang hari daripada malam hari.  Pakan membutuhkan waktu 27 – 50 menit untuk melewati usus pada stadium gelondongan 60 g.
d).  Konversi Pakan
       Salah satu faktor yang menunjukkan tumbuhnya bandeng adalah efektivitas dan efisiensi pakan yang digunakan.  Konversi pakan atau Food Convertion Ratio  (FCR) merupakan perbandingan antara pakan yang digunakan dengan daging ikan yang dihasilkan.  Rasio konversi pakan menunjukkan kecenderungan bahwa makin besar ukuran ikan yang ditebar, makin kecil nilai konversi pakan yang dihasilkan dan kaitannya pula dengan lamanya periode pemeliharaan.  Perbedaan percepatan pertumbuhan yang ditunjukkan dari dua perlakuan yang dilakukan terlihat dari nilai konversi pakannya. Selain itu, konversi pakan sangat berhubungan dengan jumlah dan kualitas pakan yang diberikan.  Makin baik kualitas pakan yang digunakan, makin efisien penggunaan pakannya berarti  konversi pakan yang dihasilkan makin kecil.  
       Selama kegiatan pembesaran bandeng, nilai konversi yang didapat pada bandeng dengan perlakuan penambahan suplemen dan probiotik, yaitu 0,89 dengan jumlah total pakan yang digunakan sebanyak 2.238,4 kg.  Sedangkan pada bandeng tanpa perlakuan jumlah total penggunaan pakannya sebanyak 1.379,84 kg dengan nilai konversi pakan sebesar 1,15. Salah satu faktor pendukung kecilnya nilai konversi pakan yang dihasilkan oleh bandeng dengan perlakuan dikarenakan bandeng yang mendapat tambahan suplemen, fungsi pencernaannya lebih mampu menyerap nutrisi pakan secara maksimal sehingga pakannya menjadi lebih efisien walaupun jumlah pakan hariannya semakin besar.  Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2004), dalam pernyataannya bahwa semakin besar ukuran ikan maka feeding rate-nya semakin kecil, tetapi jumlah pakan hariannya semakin besar.  Jumlah penggunaan pakan pada kedua perlakuan ini setiap minggunya mengalami peningkatan sesuai dengan hasil perhitungan sampling bandeng, yaitu dari hasil penghitungan biomassa dikali feeding rate.  Selama masa pemeliharaan bandeng, kisaran feeding rate atau persentase jumlah pakan yang digunakan berkisar antara 3 – 5 %.

       Pemberian pakan 5 % diberikan pada dua minggu pertama dengan frekuensi pemberian pakan 4 kali dalam satu hari, yaitu pukul 06.00, pukul 10.00, pukul 14.00 dan pukul 18.00.  Persentase pakan ini kemudian diturunkan menjadi 3 % pada minggu ketiga sampai minggu terakhir pemeliharaan atau minggu kedelapan. Frekuensinya pun menjadi tiga kali dalam satu hari, yaitu pukul 08.00, pukul 12.00 dan pukul 16.00.  Persentase pemberian pakan ini sesuai dengan pendapat         Ahmad et al., (1999), bahwa kisaran jumlah pakan 3 – 4 % dari bobot biomassa terbukti paling menguntungkan jika frekuensi pemberian pakannya benar.

Sumber: 
Tristian, 2011. Budidaya Ikan Bandeng (Chanos chanos): Modul Penyuluhan Perikanan. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/09/pembesaran-ikan-bandeng.html

Komponen rumpon secara umum terdiri dari, ponton dan komponen bagian atas, tali rumpon, rantai bawah dan jangkar

Jangkar

Gunakanlah jangkar yang terbuat dari balok semen cor dengan berat sekitar 900 kg.  Tebal dan lebar balok cor seoptimum mungkin untuk meningkatkan efek cengkeram dasar perairan.  Jangkar yang berbentuk selin-der atau drum bekas oli yang diisi semen kurang baik, karena akan menggeser rumpon menjauh akibat efek cuaca dan kondisi laut.

 

Rantai Bawah

Rantai baja panjang 15 meter dengan diamter 19 milimeter digunakan untuk menghubungkan jangkar ke talii rumpon.  Penyambungan menggunakan segel berukuran sesuai.

  

Tali Rumpon

Tali rumpon terdiri dari dua bagian.  Bagian atas dan bagian bawah.  Bagian atas diameter 19 mm 8 – 12 strand bahan Nylon.  Bagian bawah tali PE diameter 22 milimeter 8 atau 12 strand.  Bagian bawah yang mengapung (gambar 2.1 komponen lengkung) harus mempu mengapungkan tali bagian bawah dari dasar laut.  Tujuannya adalah untuk mengurangi gesekan dasar laut terhadap tali.  Sementara bagian bawah komponen atas terbuat dari wire sehinggga akan membentuk lengung katenari (komponen lengkung).  Tujuannya agar tali pelampung tidak mengambang dan untuk memperpendek atau memperpanjang. Panjang tali rumpon 25% dari kedalaman air.  Panjjang ini cukup aman jika kedalaman laut lebih besar dari yang diperkirakan.  Ponton tidak tertarik secara vertikal dan jangkar tidak terangkat ika terjadi cuaca buruk.

Ponton
Ponton (lihat gambar 2.3) dapat berbentuk kotak atai selinder, terbuat dari pelat besi dengan ketebalan 5 mm.  Keliling 150 cm dan diameter 60 cm untuk memasang bendera tanda.  Jika memungkinkan dipasangi lampu yang dapat menyala sendiri jika hari gelap dan radar reflector.. Ditengahnya dipasakkan pipa bulat.  Bagian pipa atas sepanjang 80 cm dan bagian 105 cm berfungsi untuk mengikatkan rantai atas komponen atas tali rumpon.
Sumber:
Santoso. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon dan Pemasangannya. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/komponen-rumpon-secara-umum-terdiri.html

PRINSIP PEMASANGAN RUMPON

Pemasangan rumpon membutuhkan koordinasi sekuensi pekerjaan.  Mungkin saja berbeda sesuai disain dan waktu.  Koordinasi ini tergantung dari penataan dari kapal pemasang dan jumlah ruang kerja yang tersedia, serta metode yag digunakan untuk melego jangkar.  Pada kasus tertentu tergantung juga pada kondisi laut dan jauhnya posisi pemasangan.
Prinsip pemasangan rumpon ada dua yaitu “jangkar dulu” atau “jangkar belakangan”. 

Prinsip Pemasangan Rumpon Jangkar  Dulu

Pemasangan dengan metode “Jangkar Dulu” adalah dengan menurunkan jangkar dulu, kemudian tali rumpon bagian bawah.  Tali ini akan meluncur terbawa oleh beratnya jangkar ke dasar laut.  Setelah jangkar “makan” maka sisa komponen rumpon diturunkan.
Metode “jangkar dulu” digunakan jika kedalaman perairan tidak diketahui dengan pasti  Dalam kasus ini rantai atas belum dipasangkan ke tali rumpon sampai jangkar mencapai dasar laut.  Setelah jangkar makan, tali rumpon dikencangkan untuk mengukur kedalaman, gunanya untuk memperkirakan berapa panjang total tali rumpon yang kana digunakan.  Kemudian ujung atas tali rumpon dipasangkan ke ponton.  Selanjutnya ponton di lego.
Sebaiknya gunakanlah winch jangkar agar kecepatan turun tali dapat diatur, atau jika terjadi sesuatu jangkar dan tali rumpon masih dapat dihibob ke atas kapal.    Metode ini sangat berbahaya jika menggunakan kapal berukuran kecil.

Prinsip Pemasangan Rumpon Belakangan

Pemasangan rumpon dengan metode “jangkar belakangan” adalah dengan menurunkan ponton, kemudian komponen tali rumpon dan terakhir adalah melabuhkan jangkar.  Jika memungkinkan arah bentangan tali disesuaikan dengan kontur dasar laut. 
Sebagai contoh, rumpon akan dipasangkann di kedalaman 1.000 meter, maka kapal harus mencoba berlayar sejauh 1 000 meter.  Setelah semua komponen tali rumpon berada di air, janbgkar dilabuhkan.  Metode ini memberikan probabilitas terbesar untuk menempatkan rumpon pada kedalaman yang dikehendaki.

Faktor yang mempengaruhi Pemasangan Rumpon

Faktor-faktor yang mem-pengaruhi pemasangan rumpon dan hingga rumpon duduk diam di dasar perairan.  Diantaranya adalah tekanan tali rumpon dan gerakan jangkar.

Tekanan Tali rumpon

Sesaat setelah jangkar tenggelam, tekanan pada tali rumpon meningkat dengan cepat sampai mencapai titik maksimum sesaat sebelum jangkar sampai idi dasar laut.  Akibatnya ponton dan jangkar bergerak arah horisontal saling mendekati ke posisi pemasangan rumpon. 

Gerakan Jangkar

Jika jangkar saat diturunkan ke air, tidak langsung tenggelam secara vertikal, tapi melayang dan memutar seperti pendulum.  Hal ini diakibatkan oleh prinsip hidrodinamika, bentuk jangkar, luas permukaan bagian dasar jangkar, dan gerakan air dibawahnya.  Gerakan memutar dan melayang seperti pendulum ini terjadi hampir selama 15 menit (lihat gambar sebelah).

 

Memperkirakan kemana ponton hanyut

Kecuali memang benar-benar tidak angin dan arus permukaan, ponton dan tali rumpon akan mulai hanyut segera setelah pemasangan dimulai.  Arah hanyut tergantung pada kekuatan dan arah angin dan arus, namun demikian pengaruh arus lebih besar dibanding pengaruh angin.  Kecuali kekuatan angin memang sangat besar.  Sebaiknya tidak memasang rumpon pada saat kekuatan angin besar . 


Sangatlah mudah untuk mengestimasi arus permukaan dengan mengamati arah gerakan seutas tali kecil yang dibanduli gayung dan pengapung dan ditenggelamkan ke air.  Tali akan hanyut mengikuti arus, dan akan memberikan indikasi baik kecepatan maupun arah arus.  

Arah proses pemasangan “Jangkar belakangan” rumpon sebenarnya kapal bergerak lurus dengan arah kebalikan arah arus (arah arus harus diutamakan).  Jarak penurunan ponton adalah 2/3 dari panjang tali rumpon. Hati-hati ponton jangan sampai terseret kapal.  

 

Sumber:
Santoso. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon dan Pemasangannya. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/prinsip-pemasangan-rumpon.html

Kamis, 21 Juni 2018

PROSEDUR PEMASANGAN RUMPON

Kapal melaju ke lokasi penanaman rumpon, untuk memastikan posisi penanaman rumpon dan arah hanyut pelampung.  Mencari kedalaman laut yang ditentukan dalam rencana penanaman rumpon (atau lokasi hasil survey).  Gunakanlah echo sounder.  :Posisi rumpon selai menggunakan GPS harus pula dibandingkan dengan posisi yang diperoleh dengan membaring dua buah benda darat di kenal.  .
Selanjutnya, pada posisi dimana kapal akan melakukan awal penurunan (“jangkar belakangan”).  Posisi ini harus berada tepat dibawah arus dari posisi penanaman rumpon yang direncanakan.  Panjang tali rumpon yang akan dipasang adalah 1.200 meter.  Sehingga posisi aal penurunan adalah sejauh 800 meter atau 2/3 dari panjangg total tali rumpon dari posisi rumpon. 
Posisi awal pemsangan di program ke GPS, kapal melaju ke posisi tersebut dan mulai proses pemasangan rumpon. Langkah pertama menurunkan pelampung dan rantai atas, kemudian tali drumpon diturunkan.  Haluan kapal diarahkan melawan arus .

Gambar 1. Haluan kapal saat memasang rumpon
Setelah jangkar diturunkan, dan ditunggu beberapa waktu sampai rumpon tampak stabil.  Tentukanlah posisi sebenarnya penanaman rumpon setelah dipasang.  Sebaiknya posisi penanaman rumpo dilaporkan ke pihak yang berwenang yang mengatur wilayah penangkapan.
Sumber:
Santoso. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon dan Pemasangannya. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/prosedur-pemasangan-rumpon.html

KAPAL PEMASANG RUMPON

Gunakanlah kapal yang berukuran besar, lambung rendah, ruang kerjja geladak yang luas, memiliki winch atau boom.  Jangan menggunakan kapal berukuran kecil atau kapal besar dengan lambung tinggi.  Selain berbahaya juga menyulitka dalam proses penurunan.  Gambar 3.7 adalah contoh kapal yang sesuai untuk pemasangan rumpon.

Gambar 1.  Kapal Pemasang rumpon

Penataan komponen rumpon di atas kapal Pemasang

Diagram pada Gambar 3.8 adalah ilustrasi penataan komponen rumpon di atas kapal pemasang.  Penataan rumpon mengikuti urutan logis dari mulai ponton hingga jangkar. Penjelasan gambar A: Rantai bawah; B: Jangkar dan meja peluncur jangkar; C: Gulungan tali rumpon diikat kuat (ikatan dibuka saat diturunkan); D: Ponton atau pelampung rumpon; E: Rantai atas; F: Ujung rantai diikat erat sampai saatnya dilego; G: Sambungan antara rantai bawwah dengan tali rumpon diikat sampai saatnya dilego.


Gambar 2.  Penataan komponen rumpon sebelum di pasang

Sumber:

Santoso. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Seluk Beluk Rumpon dan Pemasangannya. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/kapal-pemasang-rumpon.html

TEKNIK IDENTIFIKASI TERUMBU KARANG

Istilah terumbu karang tersusun atas dua kata, yaitu terumbu dan karang, yang apabila berdiri sendiri akan memiliki makna yang jauh berbeda bila kedua kata tersebut digabungkan.  Istilah terumbu karang sendiri sangat jauh berbeda dengan karang terumbu, karena yang satu mengindikasikan suatu ekosistem dan kata lainnya merujuk pada suatu komunitas bentik atau yang hidup di dasar substrat. Berikut ini adalah definisi singkat dari terumbu, karang, karang terumbu, dan terumbu karang (Gambar 1).
Terumbu Reef          
Endapan masif batu kapur (limestone), terutama kalsium karbonat (CaCO3), yang utamanya dihasilkan oleh hewan karang dan biota-biota lain yang mensekresi kapur, seperti alga berkapur dan moluska. Konstruksi batu kapur biogenis yang menjadi struktur dasar suatu ekosistem pesisir. Dalam dunia navigasi laut, terumbu adalah punggungan laut yang terbentuk oleh batu karang atau pasir di dekat permukaan air.      
Karang Coral        
Disebut juga karang batu (stony coral), yaitu hewan dari Ordo Scleractinia, yang mampu mensekresi CaCO3. Hewan karang tunggal umumnya disebut polip.   
Karang terumbu         
Pembangun utama struktur terumbu, biasanya disebut juga sebagai karang hermatipik (hermatypic coral). Berbeda dengan batu karang (rock), yang merupakan benda mati.      
  
Terumbu karang        
Ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO3) khususnya jenis­jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya seperti jenis­jenis moluska, krustasea, ekhinodermata, polikhaeta, porifera, dan tunikata serta biota-biota lain yang hidup bebas di perairan sekitarnya, termasuk jenis-jenis plankton dan jenis-jenis nekton




Gambar 1. Ekosistem terumbu karang (atas), karang terumbu dan matriks terumbu (tengah), serta insert hewan karang (bawah)
Sumber:
Meuthia. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/teknik-identifikasi-terumbu-karang.html

TIPE TERUMBU KARANG

Berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land masses) terdapat tiga klasifikasi tipe terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas dipergunakan. Ketiga tipe tersebut adalah (Gambar 2): 
1. Terumbu karang tepi (fringing reefs)
Terumbu karang tepi atau karang penerus berkembang di mayoritas pesisir pantai dari pulau-pulau besar.  Perkembangannya bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan ke arah luar menuju laut lepas. Dalam proses perkembangannya, terumbu ini berbentuk melingkar yang ditandai dengan adanya bentukan ban atau bagian endapan karang mati yang mengelilingi pulau.  Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara vertikal. Contoh: Bunaken (Sulawesi), P. Panaitan (Banten), Nusa Dua (Bali).
2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)
Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh dari pulau, sekitar 0.5­2 km ke arah laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer.  Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan pulau karang yang terputus-putus. Contoh:  Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi Selatan), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah).
3. Terumbu karang cincin (atolls)
Terumbu karang yang berbentuk cincin yang mengelilingi batas dari pulau­pulau vulkanik yang tenggelam sehingga tidak terdapat perbatasan dengan daratan. Menurut Darwin, terumbu karang cincin merupakan proses lanjutan dari terumbu karang penghalang, dengan kedalaman rata-rata 45 meter.  Contoh: Taka Bone Rate (Sulawesi), Maratua (Kalimantan Selatan), Pulau Dana (NTT), Mapia (Papua)




Gambar 1. Tipe-tipe terumbu karang, yaitu terumbu karang tepi (kiri), terumbu karang penghalang (tengah), dan terumbu karang cincin (kanan).
Namun demikian, tidak semua terumbu karang yang ada di Indonesia bisa digolongkan ke dalam salah satu dari ketiga tipe di atas.  Dengan demikian, ada satu tipe terumbu karang lagi yaitu:
4. Terumbu karang datar/Gosong terumbu (patch reefs)
Gosong terumbu (patch reefs), terkadang disebut juga sebagai pulau datar (flat island). Terumbu ini tumbuh dari bawah ke atas sampai ke permukaan dan, dalam kurun waktu geologis, membantu pembentukan pulau datar.  Umumnya pulau ini akan berkembang secara horizontal atau vertikal dengan kedalaman relatif dangkal. Contoh: Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kepulauan Ujung Batu (Aceh) 
Sumber:
Meuthia. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/tife-terumbu-karang.html

Jumat, 08 Juni 2018

FAKTOR-FAKTOR LINGKUNGAN YANG BERPERAN DALAM PERKEMBANGAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG

Ekosistem terumbu karang dapat berkembang dengan baik apabila kondisi lingkungan perairan mendukung pertumbuhan karang.

Gambar 1. Kombinasi faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan karang dan perkembangan terumbu.
Suhu
Secara global, sebarang terumbu karang dunia dibatasi oleh permukaan laut yang isoterm pada suhu 20 °C, dan tidak ada terumbu karang yang berkembang di bawah suhu 18 °C.  Terumbu karang tumbuh dan berkembang optimal pada perairan bersuhu rata-rata tahunan 23-25 °C, dan dapat menoleransi suhu sampai dengan 36-40 °C.

 Salinitas 
Terumbu karang hanya dapat hidup di perairan laut dengan salinitas normal 32­35 ‰. Umumnya terumbu karang tidak berkembang di perairan laut yang mendapat limpasan air tawar teratur dari sungai besar, karena hal itu berarti penurunan salinitas.  Contohnya di delta sungai Brantas (Jawa Timur).  Di sisi
lain, terumbu karang dapat berkembang di wilayah bersalinitas tinggi seperti Teluk Persia yang salinitasnya 42 %.

 Cahaya dan kedalaman
Kedua faktor tersebut berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh zooxantellae yang terdapat di jaringan karang.  Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50-70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah pada kedalaman dengan intensitas cahaya 15-20% dari intensitas di permukaan.

 Kecerahan
Faktor ini berhubungan dengan penetrasi cahaya. Kecerahan perairan tinggi berarti penetrasi cahaya yang tinggi dan ideal untuk memicu produktivitas perairan yang tinggi pula.

 Paparan udara (aerial exposure)
Paparan udara terbuka merupakan faktor pembatas karena dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis di dalamnya.

Gelombang
Gelombang merupakan faktor pembatas karena gelombang yang terlalu besar dapat merusak struktur terumbu karang, contohnya gelombang tsunami.  Namun demikian, umumnya terumbu karang lebih berkembang di daerah yang memiliki gelombang besar. Aksi gelombang juga dapat memberikan pasokan air segar, oksigen, plankton, dan membantu menghalangi terjadinya pengendapan pada koloni atau polip karang.
Arus 
Faktor arus dapat berdampak baik atau buruk.  Bersifat positif apabila membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh karang dan zooxanthellae, sedangkan bersifat negatif  apabila menyebabkan sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi permukaan karang sehingga berakibat pada kematian karang.
Sumber:
Meuthia. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/faktor-faktor-lingkungan-yang-berperan.html

Kelompok Terumbu Berdasarkan Fungsi Dalam Pembentukan Terumbu

Kelompok terumbu berdasarkan fungsi dalam pembentukan  terumbu
Berdasarkan fungsinya dalam pembentukan terumbu (hermatype-ahermatype) dan ada/tidaknya alga simbion (symbiotic-asymbiotic), maka karang terbagi menjadi empat kelompok berikut: (Gambar 1)
1.   Hermatypes-symbionts. Kelompok ini terdiri dari anggota karang pembangun terumbu yaitu sebagian besar anggota Scleractinia (karang batu), Octocorallia (karang lunak) dan Hydrocorallia.
2.   Hermatypes-asymbionts.· Kelompok ini merupakan karang dengan pertumbuhan lambat yang dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa bantuan zooxanthellae, sehingga mereka mampu untuk hidup di dalam perairan yang tidak ada cahaya.· Di antara anggotanya adalah Scleractinia asimbiotik dengan genus Tubastrea dan Dendrophyllia, dan hydro-corals jenis Stylaster rosacea.
3.   Ahermatypes-symbionts. Anggota kelompok ini antara lain dari genus Heteropsammia dan Diaseris (Scleractinia: Fungiidae) dan Leptoseris (Agaricidae) yang hidup dalam bentuk polip tunggal kecil atau koloni kecil sehingga tidak termasuk dalam pembangun terumbu. Kelompok ini juga terdiri dari Ordo Alcyonacea dan Gorgonacea yang mempunyai alga simbion namun bukan pembangun kerangka kapur masif (matriks terumbu).
4.   Ahermatypes-asymbionts. Anggota kelompok ini antara lain terdiri dari genus Dendrophyllia dan Tubastrea (Ordo Scleractinia) yang mempunyai polip yang kecil.· Termasuk juga dalam kelompok ini adalah kerabat karang batu dari Ordo Antipatharia dan Corallimorpha (Subkelas Hexacorallia) dan Subkelas Octocorallia asimbiotik.




Gambar 1. Karang dalam sistem Filum Coelenterata; karang hermatypic pembangun terumbu berada dalam garis terputus-putus

Karang hermatipik, yang umumnya didominasi oleh Ordo Scleractinia, memiliki alga simbion atau zooxanthellae yang hidup di lapisan gastrodermis.· Di lapisan ini, zooxanthellae sangat berperan membantu pemenuhan kebutuhan nutrisi dan oksigen bagi hewan karang melalui proses fotosintesis (Gambar 2).· Zooxanthellae merupakan istilah umum bagi alga simbion dari kelompok dinoflagellata yang hidup di dalam jaringan hewan lain, termasuk karang, anemon, moluska, dan taksa hewan yang lain.
Hubungan  yang erat (simbiosis) antara hewan karang dan zooxanthellae dapat dikategorikan sebagai simbiosis mutualisme, karena hewan karang menyediakan tempat berlindung bagi zooxanthellae dan memasok secara rutin kebutuhan bahan-bahan anorganik yang diperlukan untuk fotosintesis, sedangkan hewan karang diuntungkan dengan tersedianya oksigen dan bahan-bahan organik dari zooxanthellae.

Gambar 2. Peran alga simbion (zooxanthellae) dalam menyokong pertumbuhan karang.
Koloni karang baru akan berkembang, jika polip karang melakukan perkembangbiakan secara aseksual, budding dan fragmentation (Gambar 3). Melalui proses budding, koloni karang berkembang melalui dua cara yaitu intratentacular budding dan extratentacular budding. Intratentacular budding terjadi apabila pertambahan polip berasal dari satu polip yang terbelah menjadi dua, sedangkan extratentacular budding terjadi jika tumbuh satu mulut polip bertentakel pada ruang kosong antara polip satu dan polip lain.  Selain itu, koloni baru dapat berkembang dari patahan karang yang terpisah dari koloni induk akibat gelombang atau aksi fisik lain, bila patahan tersebut melekatkan diri pada substrat keras dan tumbuh melalui mekanisme budding.


Gambar 3. Mekanisme pembentukan koloni karang melalui proses budding
Sumber:
Meuthia. 2011. Modul Penyuluhan Kelautan dan Perikanan: Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Jakarta, Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan BPSDMKP.
http://komunitaspenyuluhperikanan.blogspot.com/2016/10/kelompok-terumbu-berdasarkan-fungsi.html